Thursday, May 6, 2010

KHANSAIN




Di bukit Marwa usai melaksanakan ritual umroh hingga tahalul, aku duduk rehat di atas bebatuan yang dipoles licin itu. Niatku hanya rehat sejenak, lalu kembali ke arah ka’bah ingin mencium Hajar Aswad tempat pertemuan bibir para nabi. Mumpung pagi itu jama’ah yang tengah bertawaf tidak begitu banyak, sehingga bisa diatur dalam baris antrian. Setelah itu baru ku lanjut dengan i’tikaf, berdiam diri di Masjid.
Kaltsum yang sejak tadi bebarengan denganku, kini ia pergi barang sebentar untuk mengambil air zam-zam. Aku hanya menunggunya di atas bebatuan licin itu.

Seorang perempuan paruh baya berkebangsaan Malaysia menghampiriku. Ia bermaksud meminjam gunting untuk tahalul. Ku pinjamkan guntingku padanya. Tak lama kemudian ia mengembalikan gunting itu padaku. Ia pun duduk tak jauh dariku.

Tampak di ujung sana tak jauh dari pandaanganku, seorang anak kecil cantik dengan mukena bercorak bunga-bunga. Ditaksir usianya sekitar lima tahun. Pandangannya terarah pada area tempatku duduk. Aku pun sempat bertemu pandang dengannya. Pikirku, mungkin dia tengah memperhatikan wanita di sebelahku. Aku pun mengabaikannya.

Sesekali ku jatuhkan pandanganku pada sikecil yang imut itu. Ia melempar senyum padaku. Aku pun membalas senyumnya kembali.

Kaltsum yang sedari tadi mengambil air zam-zam, kini telah tiba dihadapanku. Ia membawakan dua gelas plastik air zam-zam. Satu untukku dan yang satu lagi untuk dirinya sendiri.
Ku hadapkan badanku ke arah Qiblat. Bismillahirrohmanirrohiim, ku teguk air zam-zam itu. Ku beri jeda sambil bernafas tiga kali sebelum tegukan selanjutnya. Tiga kali tegukan zam-zam telah ku minum. Alhamdulillah...
Tak lupa ku panjatkan do’a setelah meminumnya.
Allahumma inni as’aluka ilman nafi’an, warizqon wasia’an, wasyifa’an minkulli da’in, wasaqomin, ya arhamarrohimiin...
Ya Allah sesungguhnya aku memohon kapada-Mu ilmu yang manfaat, rizki yang luas dan obatilah dari segala penyakit dan penderitaan, wahai dzat yang memberi rahmat
.”
Sesuai dengan hadits nabi “ma’u zamzam limaa syuriba lahu.” Bahwa air zam-zam mengikuti kehendak orang yang meminumnya.

Ketika aku hendak beranjak bersama Kaltsum, terdengar suara anak kecil menyeru, “bunda...” Aku tidak menghiraukanya. Mungkin panggilan itu ditujukan pada wanita di sebelahku. Pikirku dalam hati.
Baru selanghah kakiku bergerak, kemudian sikecil menghadang langkahku seraya menarik tanganku sambil berseru, “bunda...”
Aku tercengang dibuatnya. Aduhai...siapa anak manis ini?
Aku dan Kaltsum saling beradu pandang.

&&&

Sikecil menggandengku. Didekatkannya aku pada seorang lelaki berjenggot tipis, rapi, berpakaian ihrom yang tengah duduk sendirian di ujung bukit Marwa, tak jauh dari kerumunan orang-orang yang tengah bertahalul.
Kaltsum mengikuti langkahku dan sikecil.

“Ayah, ayo kita pulang sama-sama bunda, yah. Benarkah bunda seperti ini, yah? Seperti cerita ayah, kalo bunda tu cantik, pake jilbab. Itu kan yang sering ayah bilang? Ayah juga sering beribadah bersama bunda di Haram ini. Ayo, yah, sekarang bunda sudah ada disini. Kita pulang sama-sama ya, yah...”

Aku semakin tidak mengerti denga celoteh anak ini.
Kemudia lelaki itu bersuara,
“Khansa...”
Aku dan sikecil menoleh ke arah lelaki itu.
Bagaimana dia tahu namaku? Tanyaku dalam hati.
“Ayah, Khansa kangen bunda...” suara sikecil memelas.
Ternyata nama sikecil sama dengan namaku.

“Ma’afkan putri saya, ukhti.”
“tidak mengapa, akhi.” Jawabku.
“Ukhti jama’ah umroh dari indonesia juga?”
“Tidak, akhi, saya mukim disini.”
“Ooh, tepatnya dimana?”
“Saya tinggal di hay Salamah Jeddah. Kebetulan saya mengajar di Darul Ulum, sekolah anak-anak Indonesia.”
“Saya pernah mukim disini juga, ikut belajar di el Sawlatiyah Makkah. Ukhti kenal dengan bu Layla? Suami beliau kepala sekolah di Darul Ulum.”
“Bu Layla istri pak Zainal?”
“Ya benar, bu Layla adalah bibi saya.”
“ya, saya paham dengan beliau.”
“Sampaikan salam saya pada bu Layla, ukhti. Sekali lagi ma’afkan atas tingkah putri saya.”
“Insya Allah akan saya sampaikan salamnya.”

Lelaki itu kemudian berlalu sambil menggendong sikecil. Menjauh dari bukit Marwa dan berbaur dengan orang-orang yang tengah melakukan sa’i. Kulihat sikecil mengarahkan pandanganya ke arahku dengan wajah mengiba. Seperti seoranganak yang tk mau dipisahkan dari ibunya.

Salam untuk bu Layla. Ingatanku terbesit akan bu Layla. Salam, dari siapa? Aku baru ingat jika tadi kita tidak menanyakan nama satu sama lain. Bagaimana aku menyampaikan salamnya?
Oh, akan ku sampaikan salamnya dari seorang lelaki jama’ah umroh yang mengaku keponakannya, mempunyai putri bernama Khansa dan pernah belajar di el Sawlatiyah. Mungkin dengan begitu, mudah-mudahan bu Layla akan paham.

&&&

Siang itu aku baru saja rehat dari aktivitas mengajarku. Setengah hari bergelut dengan murid-murid lumayan membuatku memutar otak untuk memahami bermacam-macam tingkah mereka.
Tiga hari yang lalu aku berada di Haram, melaksanakan ibadah umroh. Bertemu dengan anak kecil yang aku sendiri tidak paham apa maksudnya.
Bu Layla, salam untuk beliau pun belum aku sampaikan.“
Ting tong...assalaamualaiku...” bunyi jaros terdengar, tanda ada orang di luar minta dibukakan pintu.
Saat itu aku tengah sendiri di Imarah . Kaltsum sedang berbelanja bersama bibinya di baqalah Indonesia untuk penuhi kebutuhan harian. Memang sejak kemarin kulihat isi tsalajah sudah berkurang, sudah tampak ruang-ruang spasi didalamnya.

Aku beranjak keluar membukakan pintu.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam warahmatullah.”
Aku kaget dibuatnya. Bu Layla datang bersama sikecil Khansa yang ku temui di bukit Marwa usai umroh lalu. Cipika-cipiki serta kabar ku tanyakan pada bu Layla. Khansa kecil tampak malu-malu. Kugandeng tangannya lalu ku ajak masuk.

Bu Layla mengawali percakapan.
“Ayahanda Khansa telah menceritakan tentang perjumpaan kalian di Marwa kemarin-kemarin. Kebetulan jama’ah umroh sekarang sedang rekreasi di Jeddah sebelum besok kembali ke Indonesia. Khansa kecil selalu menanyakanmu, Khansa. Karena itu, Nawaf ayah dari Khansa memintaku agar mempertemukan dek Khansa denganmu.”
“Iya bu, kemarin ayahnya dek Khansa titip salam untuk ibu.”
“Alaiki wa alaihissalam”

Ku putar nasheed anak-anak Toyoraljannah. Lalu ku ajak Khansa kecil menikmati hiburan itu.
Aku melanjutkan perbincanganku dengan bu Layla.
“Sejak lahir Khansa tidak pernah melihat wajah ibunya. Ibunya meninggal dalam perjuangan melahirkan bayi mungil yang diberi nama Khansa. Ayahnya begitu sayang kepadanya. Sebagai single parent ayahny begitu telaten merawat putrinya. Hasna, ibu dari Khansa adalah mahasiswi Umm Al Quro Makkah. Sedangkan Nawaf tengah belajar di el Sawlatiyah ketika itu.
Keduanya menikah di Malang di kediaman Hasna pada liburan musim panas. Setelah menikah, mereka kembali ke Makkah untuk menyelesaikan studi masing-masing.
Khansa pun lahir di Makkah. Namun nyawa ibunya tidak tertolong ketika melahirkan si bayi. Jenazah Hasna dimakamkan di Maqbaroh Ma’la Makkah.
Betapa terpukulnya Nawaf menerima kenyataan itu.
Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Khansa pun tumbuh besar. Karena kecerdasanya, ayahnya terkadang kewalahan diberondong berbagai tanya yang dilontarkanya. Salah satunya ia selalu menanyakan keberadaan ibunya. Ia selalu bertanya, kenapa dirinya belum juga bertemu dengan sosok ayu yang selalu diceritakan oleh ayahnya itu?”

Tutur bu Layla panjang lebar tentang Khansa kecil dan akh Nawaf ayahnya.

&&&

Aduhai khansa kecil, betapa merindunya kau pada sosok bunda yang hanya tinggal cerita. Nalarmu belum sampai untuk menerima kenyataan yang sebenarnya.
Aku dapat merasakan rindu yang dialami oleh Kansa kecil. Beruntung aku masih diberi kesempatan untuk melihat wajah ibuku. Walau akhirnya aku kehilangan keduanya. Telah lama aku hidup sebatang kara. Sosok ayah dan ibuku hanya dalam angan saja.

Ketika usiaku sebelas tahun, ketika itu aku duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar. Ibuku dijemput oleh yang maha kuasa. Setahun kemudian ayahku menyusul ibu. Aku hanya seorang anak tunggal tanpa ayah atau pun ibu.
Rasanya dunia begitu senyap bagiku. Kemana kan ku langkahkan kaki ini? Kepada siapa aku hendak berkeluh kesah? Layaknya teman-teman seusiaku yang masih mempunyai keluarga lengkap. Ibu, ayah, kakak, adik, aku tak punya semua itu.

Sepeninggalan ayahku, aku memutuskan untuk belajar di Pondok Pesantren Arroulandlotul Mardliyah Janggalan Kudus. Pikirku dengan tinggal di asrama pondok, aku tidak akan kesepian lagi. Akan ada kawan yang menemani hari-hariku. Di sana aku akan lebih konsentrasi belajar Al Qur’an. Dengan menyibukan diri bergelut dengan Al Qur’an, semoga hari-hariku bisa tenang dan tidak lagi suntuk. Aku berniat untuk bisa menghafal 30 juz. Dan lagi disana tak jauh dari tempat tinggal eyang putriku yang terletak di belakang masjid Menara. Sehingga aku bisa lebih dekat jika berkunjung kepada beliau.

Bismillah, kutinggalkan Kragan Rembang. Ku langkahkan kakiku menuju jalan Kyai Telingsing Janggalan Kudus.
Kusibukan hari-hariku dengan menghafal Al Qur’an dan mengikuti pelajaran-pelajaran penunjang lainnya. Setiap hari Jum’at sore aku berkumpul bersama kawan-kawan saling menyimak hafalan. Seorang melafalkan dan yang lain menyimaknya.

Sesekali aku berkunjung ke rumah eyang putri yang letaknya di belakang masjid Al Aqso, nama lain dari masjid Menara Kudus.
Begitu damainya suasana di masjid itu. Yang terdengar hanyalah lantunan kalamullah. Tampak santri-santri bertengger dengan berbagai pose dalam menghafal ayat-ayat-Nya. Ada yang duduk silah, ada yang menghadap dinding agar lebih konsentrasi, ada pula yang sambil selonjoran sambil bersandar dengan Qur’an kecil di tangan mereka. Ada yang dengan memejamkan mata sambil mulut komat-kamit melafalkan ayat-ayat-Nya, lalu sesekali menengok bacaanya pada Al Qur’an kecil ditangannya.

Melihat damainya suasana masjid Menara, terkadang terkelebat dalam anganku. Mungkin suasana Masjidil Haram Makkah seperti itu kah? Akankah aku berkunjung ke sana?
Haromain, dua tanah Haram yang ku rindu. Makkah, Madinah, aku merindumu. Seperti rinduku pada ayah dan ibuku.

&&&

Usai wisuda khotmil qur’an, aku masih mengabdikan diri pada pondok. Mengajar anak-anak tingkat ibtida , sambil melancarkan hafalanku. Juga ilmu tafsir yang musti ku pelajari atas apa yang telah ku hafal.

Delapan tahun sudah aku tinggal di pondok. Suka duka telah banyak kulalui di sana. Seorang kawan mengabariku jika dibutuhkan seorang hafidzoh untuk mengajar anak-anak Indonesia yang tinggal di Saudi.
Kupertimbangkan apa yang telah diberitakan oleh kawanku itu. Ku timbang dan ku timbang. Barang kali ini adalah jawaban atas rinduku pada Haromain.

Ku ceritaka kabar ini pada bu nyai Habibah selaku pengasuh pondok. Karena pada siapa lagi aku bertukar pendapat jika tidak pada bu nyai yang sudah seperti ibuku sendiri.Beberapa kali aku istikhoroh, mohon petunjuk-Nya, semoga jalan yang ku tempuh ini maslahat .

Kini aku telah berada di tanah gundul Saudi. Rinduku pada Haromain pun telah tersampaikan.

&&&

Tak terbesit sama sekali dalam imajinasiku sebelumnya jika pengembaraanku bakal sampai ke tanah gundul Saudi ini. Aku hanya sebatang kara yang melanglang buana mengikuti arus yang telah digariskan.

Tiga tahun sudah aku mengajar di Darul Ulum. Dalam kurun waktu itu, baru sekali aku menginjakkan kaki di kampung halamanku. Rembang yang telah lama ku tinggalkan sejak ayahku menyusul ibu. Lalu Kudus adalah kampung keduaku. Disanalah masa pendewasaanku. Pada usia yang dipaksa harus berfikir secara dewasa atas kenyataan yang harus ku alami.

Sebulan setelah kepulangan dek Khansa bersama ayahnya ke Indonesia, bu Layla memberi kabar yang sangat mengejutkan bagiku. Akh Nawaf bermaksud melamarku melalui bu Layla.
Aduhai...aku hanya melihatnya sepintas di bukit Marwa sebulan yang lalu. Aku tidak begitu mengenalnya. Begitu pun dia, ku yakin dia pun tak tahu tentang aku. Hanya Khansa kecil yang agak lama ku lihat, karena waktu itu ia berkunjung ke imarahku.

“Bagaimana bisa, bu?”
“Saya tahu siapa kamu, Khansa. Saya telah menceritakan kepada Nawaf tentangmu. Tentang keberadaanmu yang seorang yatim piatu, serta perjalananmu hingga kau sampai disini. Dan maaf, saya telah memberi tahu fotomu kepada Nawaf beberapa minggu yang lalu. Dia yang memintanya, karena Khansa kecil selalu menanyakanmu. Kau istikhoroh dulu, minta petunjuk kepada Allah agar apa yang menjadi keputusanmu maslahat dunia akhirat.”

Aku terdiam sejenak. Mencerna kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh bu Layla.

“Baiklah, bu. Akan saya pikirkan terlebih dahulu.”
“Tidak mengapa, saya tunggu jawabanmu setelah seminggu.”

&&&

Sekian lama aku hidup sebatang kara. Kini ada seseorang yang mengajakku hidup bersama namun ia sudah tak sendiri. Apakah aku bisa masuk ke dalam dunia mereka?
Aku teringat ketika Khansa kecil digendong ayahnya beranjak dari Marwa, dikerumunan orang-orang yang tengah melakukan sa’i. Dengan wajah memelas, pandanganya seakan tak mau lepas menatap wajahku.
Duh...Allah, berilah petunjuk pada hambamu yang do’if ini.

Beberapa kali istikhoroh telah ku lakukan. Telah ku pasrahkan semua pada Robb yang mengatur hidup ini. Bismillah semoga keputusanku ini maslahat.

Seminggu kemudian aku mengabarkan kepada bu Layla melalui telephone, bahwa aku mengiyakan pinangan akh Nawaf.
“Alhamdulillah, semoga keputusanmu tepat, Khansa. Akan saya kabarkan berita gembira ini pada keponakanku segera. Insya Allah akad nikahnya akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini.”
Aku terperanjat mendengar bu Layla mengucapkan “akad nikah.” Sedang aku masih berada di Saudi. Liburan akhir tahun masih menunggu sekitar tiga bulan lagi.
Lalu bu Layla menjelaskan.
“Akad nikah tetap akan dilaksanakan walau kau masih disini. Nanti cukup walimu yang hadir dan beberapa saksi dalam acara itu. Yang penting kau sudah menyetujuinya.”

Satu-satunya waliku adalah paman Hamzah yang tinggal di Jekulo Kudus.
Keluarga Nawaf dari Snori Tuban datang ke rumah pamanku menyampaikan maksud dan tujuanya.

Sebulan kemudian akad nikahku dilaksanakan di Pondok Pesantren Al Husana Tuban di kediaman akh Nawaf calon suamiku.
Akad nikah dilaksanakan tanpa kehadiranku. Selama prosesi akad nikah itu, aku, Kaltsum, bu Layla dan beberapa kerabat di hay Salamah Jeddah tempatku tinggal, menyimak prosesi itu melalui tele phone yang di loud speaker. Paman Hamzah selaku waliku sendiri yang menikahkan langsung.

Terdengar ijab qobul dari seberang.
Qobiltu..........Halan
Terdengar suara hadirin dari seberang yang mengesahkan ijab qobul itu.
Serentak yang hadir baik yang di seberang maupun yang bersamaku mengucap syukur “alhamdulillah...”
Barokallahu laka wabaroka alaika.........”

Usai sudah prosesi pernikahanku. Kini aku telah bersuami. Tidak sekedar itu, aku pun telah mempunyai seorang putri tanpa harus susah payah mengandungnya. Dua Khansa yang dilanda sepi telah dipersatukan oleh-Nya.

Terdengar suara ringing dari mobile ku.
Ku lihat di layar mobile tertulis “akh Nawaf.” Deg...baru saja melihat namanya muncul di layar mobile, jantungku berdebar.
Bismillah ku angkat telephonnya, namun aku malu untuk mendahului bicara.
“Assalamualaikum.” Terdengar suara dari seberang.
“Alaikum salam warahmatullah.” Jawabku.
“Apa kabar istriku?”
Deg...deg...jantungku semakin berdebar kencang mendengar seorang lelaki memanggilku dengan sebutan istri.
“Alhamdulillah, sa saya, saya sehat, akhi...”
Dengan terbata-bata aku menjawab pertanyaannya. Rasa canggung masih menyelimutiku. Panggilan apa yang cocok untuk suamiku? Kanda, kang mas, ataukah mas saja? Duh...begitu malunya aku, barusan aku masih menyebutnya “akhi.”
Sejenak kami terdiam dalam suasana canggung.
“Dik, dik Khansa...”
Dalem, mas.” Ku beranikan diri memanggil suamiku dengan sebutan “mas.”
“Semoga adik selalu dalam lindungan-Nya, kami sudah tak sabar menanti hadirmu, dik.”
“Do’akan Khansa, mas, semoga baik-baik saja. Begitu pun mas, semoga selalu dalam limpahan rahmat-Nya.”
“Amiin ya Robb.”
“Insya Allah satu setngah bulan lagi Khansa pulang.”
“Bunda...” terdengar suara Khansa kecil dari seberang.
“Ya, sayang.”
“Bunda cepetan pulang ya, Khansa kangen banget...Nanti ajak Khansa jalan-jalan ya...sama ayah sama bunda...” Celoteh Khansa kecil dengan polosnya.
“Insya Allah, sayang. Do’akan bunda.”

&&&

Hari-hariku kini dilanda rindu, kepada suamiku, kepada sosok Khansa yang lugu. Menanti sebulan rasanya lama sekali. Sebulan lagi aku akan menyudahi aktivitas mengajarku di Darul Ulum. Seseorang yang akan menggantikan posisiku pun telah ada.
Sebentar lagi aku akan tinggal bersama suamiku dan Khansa kecil. Semoga aku bisa menyatu dan cepat beradaptasi dengan mereka. Dengan Khansa yang telah lama menunggu hadirnya sang bunda. Serta aku yang telah lama merindu seorang pengayom yaitu lelaki yang kini telah sah menjadi suamiku.

Hari yang ku tunggu-tunggu pun telah tiba. Aku bersama bu Layla, pak Zainal dan putri bungsunya Niswah tengah mengangkasa. Sembilan jam bersama Saudi Airline. Selama perjalanan itu seakan wajah suamiku dan Khansa kecil tidak hengkang dari pelupuk mataku.
Terdengar petugas mengumumkan jika seluruh passenger harus mengenakan sabuk pengaman, karena sebentar lagi pesawat akan landing . Ku lihat keluar jendela tampak gumpalan-gumpalan asap. Tak lama kemudian tampak luasnya laut berada di bawahku. Subhanallah, antara rasa takjub dan takut bercampur menjadi satu. Bibirku tak lepas melafalkan sholawat dalam diamku.
Kini kurasakan jika roda pesawat telah benar-benar mendarat.
Alhamdulillah...ucap syukurku kepada-Nya. Indonesiaku, aku datang.

&&&

Panasnya suasana Cengkareng kini telah ku rasakan, sebelum tadi di awang-awang suhunya mencapai minus limabelas derajat celsius. Barang-barang dari bagasi telah ku temukan. Aku bersama bu Layla, pak Zainal dan Niswah menuju pintu dua, kedatangan luar negri.

Sesampainya di ambang pintu, terdengar suara anak kecil memanggil “bunda...” Ia mendekat ke arahku. Dialah Khansa. Ku cium lalu ku gendong. Namun ia meminta diturunkan dari gendonganku. Ia menarik tanganku. Didekatkannya aku pada seorang lelaki berkemeja biru muda. Dialah suamiku. Aku menyalaminya. Ku cium tangannya. Dibalasnya aku dengan kecupan kecil di keningku.

Alhamdulillah, tak henti-hentinya aku mengucap syukur. Kini aku tidak lagi sebatang kara. Aku telah menemukan orang-orang yang menanti kehadiranku.
Dua Khansa yang dilanda sepi telah dipertemukan dalam satu atap. Di bawah naungan seorang Nawaf.


-----00000-----

THE END


* Kosa Kata *

Khansain: Dua Khansa
Mukim: Tinggal
Pakaian Ihram: Dua lembar kain berwarna putih tidak berjahit (untuk laki-laki)
Jaros: Bel (bahasa Arab)
Imarah: Tempat tinggal
Tsalajah: Lemari es (Bahasa Arab)
Haromain: Dua tanah Haram (Makkah & Madinah)
Kalamullah: Firman Allah (Al-Qur'an)
Ibtida’: Tingkat dasar
Hafidzoh: Sebutan untuk perempuan yang mampu menghafal alqur’an 30 juzu’
Maslahat: Membawa kebaikan
Do’if: Lemah
Loud Speaker: Dikeraskan suaranya
Ijab Qobul: Serah terima
Mobile: Telephone celuler (hand phone)
Dalem: Sya (bahasa jawa). Sahutan yang halus jika dipanggil
Passenger: Penumpang (bahasa inggris)
Landing: Mendarat (istilah dalam penerbangan)



Al Washa Taif, 15 Jamad Awal 1431 H (29 April 2010 M).

Sunday, March 14, 2010

Balada Anak Singkong

Aku teringat akan pesan emak dulu ketika aku masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah yayasan Al-Islamiyah. Setiap kali aku berangkat sekolah, emak selalu berpesan, “nanti jika kau merasa lapar kencangkan tali sabukmu ya, Nak, emak hanya bisa membekalimu sebotol air putih. Belajar yang rajin ya nak…” “iya, Mak,” jawabku. Kucium tangan beliau lalu aku berpamitan seraya mengucapkan salam untuk berangkat sekolah
Aku keluar dari gubug itu, Gubug mungil terbuat dari bambu di atas tanah petak seluas 10x10 m2, disanalah tempatku tinggal bersama emak. Dengan langkah tegap penuh semangat aku berjalan melewati pesawahan serta ladang-ladang milik para petani. Itulah rutinitasku setiap pagi. Makan sehari sekali pun sudah merupakan nikmat buat kami, hidup ala kadarnya tidak membuatku pesimis atau pun menyesal karena tidak seperti teman-teman yang lain. Emak selalu mengajariku untuk tidak cengeng dalam kondisi apa pun. Banyak orang besar berasal dari lingkungan yang biasa saja. Bahkan rasul penghujung zaman pun kala hidupnya tidak dalam kemewahan.
Celana pendek berwarna hijau dengan baju putih itulah seragamku dulu. Terkadang tampak lusuh, jika ingin membuatnya rapi, kutempelkan baju itu pada sebuah teko/cerek yang terbuat dari alumunium berisikan air panas. Kutempel dan kutempel baju itu hingga lumayan rapi, Aku merasa senang setelahnya karena bajuku tampak sedikit rapi dari sebelumnya. Emak lah yang mengajariku cara seperti itu.
Di kelas itu aku mengenal guru pertamaku, Seorang guru yang mengajarkan kami mengenali aksara, mengejanya satu per satu dalam rangkaian kalimat sederhana. Pak Murtadlo namanya. Walau telah sepuh dengan rambutnya yang telah memutih namun ketelatenan serta kesabaran beliau mengajari kami tak pernah pudar. Dengan semangat beliau mengayuh sepeda ontanya dari kampung sebelah menyusuri jalan-jalan becek yang belum disentuh oleh adonan aspal jika musim penghujan datang.
Beliau pun mengajarkan kepada kami tentang kuasa ilahi melalui syair yang sering kami lantunkan menjelang selesai belajar, dengan kompak dipandu oleh beliau kami melantunkanya:
Man kholaqossama
Kholaqossama Allahul adzim 2x
Sopo sing gawe langit, gusti Allah sing gawe langit
Man kholaqol ardlo
Kholaqol ardlo Allahul adzim 2x
Sopo sing gawe bumi, gusti Allah sing gawe bumi.

Selesai melantunkan syair itu sang ketua memberi komando agar kami berdiri lalu mengucapkan salam, kemudian duduk kembali dengan melafalkan surat Al-ashr. Selesai melafalkan surat itu pak guru mempersilakan kami untuk pulang. Cihuy…senang rasa hati jika mendengar kata pulang, apa lagi jika hari kamis, karena hari itu adalah week end bagi kami.
&&&&&
Siang itu terik mentari lumayan membuat kelopak mataku berkerut. Kupilih jalan-jalan teduh dibawah naungan pepohonan yang berjejer sepanjang jalan itu. Perjalanan pulang usai belajar selama setengah hari tak membuatku lelah dibarengi dengan canda gurau bersama teman-teman sebayaku. Terkadang aksi jail pun muncul, aksi saling dorong dan berkejaran antara kami membuat perjalanan kami semakin asyik. Aku, Amin dan subhan masing-masing mulai berpisah dari jalan pesawahan itu.
Aku berbelok arah melewati area ladang milik ustadz Hasan. Diantara kami bertiga rumah aku lah yang paling jauh. Tampak ustadz Hasan tengah sibuk berkecimpung di ladangnya. Tanaman singkong yang hanya menunggu beberapa bulan setelah ditanam, kini tengah dipanennya.
Aku terus saja berjalan, tiba-tiba suara seseorang mengagetkanku, “Pul…”, aku pun menoleh, ternyata ustadz Hasan lah yang memanggilku. Aku pun menghampirinya.
“ya ustadz.”
“Ini kau bawa pulang,” ucap ustadz Hasan sambil menyodorkan kantong kresek berisikan singkong hasil panennya itu.
“terima kasih ustadz”
“ya sama-sama”
“ustadz, Ipul pingin nanam singkong juga seperti ustadz, gimana caranya?
“Gampang saja, tinggal kau potong-potong saja itu batangnya, lalu disimpan di tempat lembab hingga tumbuh tunasnya, lalu kau tancapkanlah batang yang telah bertunas itu di tanah, tinggal tunggu saja hingga siap di panen.”
“kalau begitu ipul mau mencoba ustadz.”
“Kau ambillah itu beberapa batangnya sana, lakukan seperti apa yang saya jelaskan tadi.”
Diambilah tiga batang singkong oleh ustadz Hasan, lalu diberikannya kepada ipul.
“Makasih banyak ustadz”
“ya…jangan lupa kau harus rajin menyiraminya”

Ustadz Hasan adalah guru ngajiku di Mushola Nurul Huda, setiap habis maghrib aku belajar ngaji bersama teman-teman disana.
&&&
Kupotong potong batang singkong itu menjadi satu ikatan, kudapatkan 15 potongan kecil-kecil sepanjang lebih-kurang 30 cm. Ku letakkan seikat potongan kayu itu dekat sumur di belakang rumah agar aku lebih dekat menyiraminya setiap pagi dan sore. Sesuai dengan pesan ustadz Hasan, aku harus rajin menyiraminya.
Setiap pagi dan sore aku mengamati potongan-potongan kayu itu sambil menyiraminya.
“Bismillahirrohmanirrohiim, pyuuuurrrrr, tunas, cepatlah kau tumbuh” gumamku dalam hati sambil mengguyurkan air pada seikat benih singkong itu.
Rupanya emak mengamati tingkahku sejak aku menemukan teman baruku seikat potongan-potongan kayu itu. Emak pun menanyakan kepadaku kenapa aku begitu asyik dengan benih singkong itu. Aku pun menceritakan pertemuanku dengan ustadz Hasan usai pulang sekolah kemarin.
“Nanti jika akar singkongnya sudah bisa diambil, emak bisa bikin aneka makanan darinya, kali aja kan bisa dijual, biar ipul yang keliling kampung menjualnya”
“Saiful, saiful, cerdas kali kau nak,”
“siapa dulu…ipuuul”
Teman baruku seikat benih singkong selalu ku tengok setiap pagi dan sore tiba. Namanya anak-anak, aku dibuatnya asik dengan penemuan baruku. Aku ingin membuktikan apa yang Ustadz Hasan tuturkan kepadaku tentang kayu-yang yang dapat menghasilkan sumber karbohidrat itu.
&&&
Seperti biasa setiap tahun diadakan acara pekan olah raga dan seni (PORSENI). Setiap sekolah mengirimkan wakilnya untuk setiap cabang Porseni itu. Biasanya siswa-siswi kelas lima dan kelas enam yang disibukkan dengan kegiatan itu.
Ketika itu aku masih duduk dibangku kelas empat. Aku ditunjuk oleh pak Faizin selaku pembimbing dalam bidang tilawatil Qur’an untuk ikut latihan bersama beberapa kandidat yang semuanya adalah kelas enam. Pak Faizin juga lah yang menjadi wali kelasku di kelas empat.

Hari jum’at adalah ajang berkumpulnya umat muslim di masjid-masjid dimana mereka tinggal. Usai sholat jum’at di masjid Baiturrahim siang itu aku bersama Subhan masih duduk di teras masjid itu.
“Saifullah”, terdengar suara pak Faizin memanggilku. Pak Faizin dengan sajadah dipundaknya mendekatiku, “nanti setelah ashar kerumah bapak ya, belajar qiro”.
Beliau yang jebolan pondok pesantren As-Shidiq Narukan Rembang itu memiliki suara merdu dan bacaan Qur’an yang fasih, aku pun mengaguminya. Terkadang sekedar intermezzo di kelas beliau ajarkan kami lantunan ayat Al-Qur’an dengan qiro’atussab’ah.
Sore itu aku dibonceng oleh subhan dengan sepedanya menuju rumah pak Faizin. Sengaja aku mengajak Subhan untuk menemaniku ke rumah Pak guru yang kira-kira berjarak satu kilo meter dari rumahku. Sesampainya di rumah pak guru, kupikir ada anak-anak lain yang akan belajar bersamaku, ternyata hanya aku seorang. Beruntung Subhan mau ku ajak, setidaknya ada teman dalam perjalananku untuk bergantian dalam menggayuh sepeda miliknya.
Dengan telaten beliau mengajariku, Ayat-demi ayat diulang-ulang agar aku benar-benar fasih melafalkan makhroj demi makhroj dan lantunannya tidak melenceng dari tajwidnya. Rupanya akulah yang dijadikan kandidat wakil dari sekolahku untuk acara Porseni itu. Usai latihan itu baru pak guru memberitahuku. Sejak hari itu setiap sehabis ashar aku ke rumah pak guru untuk latihan seminggu menjelang Musabaqoh Tilawatil Qur’an.
&&&
Subuh itu emak membangunkanku, Mengajakku berjamaah di mushola A-Musthofa dekat rumah kami. Usai sholat subuh aku tak sempat menengok tanaman singkongku, Karena usai sekolah kemarin pak Faizin berpesan jika pagi-pagi aku harus ke rumahnya. Aku dan pak guru akan pergi ke kota untuk mengikuti acara MTQ itu. Tampak emak mempersiapkan sarapan, beliau menemaniku menikmati sarapan pagi.
“Jangan lupa berdo’a, semoga tidak grogi saat tampil nanti”
“InsyaAllah mak”.

Aku telah siap dengan celana pendek berwarna hijau dan baju putih dengan peci. Aku langsung meluncur ke rumah pak guru di temani oleh Subhan. Sarung batik pemberian pakdhe hadiah sunatan itu kulipat dan kusimpan di tasku. Usai mengantarkanku Subhan pun pulang karena ia harus mengikuti pelajaran di sekolah seperti biasa.
&&&
Tampak para peserta telah siap disana. Kebanyakan pesrta mengenakan kemeja lengan panjang dan celana panjang Hanya aku sendiri yang mengenakan seragam hijau putih dan bersarung batik layaknya pengntin sunat. Amboi…aku tak tahu jika ternyata tidak harus berseragam sekolah, untungnya bawa sarung jadi kakiku yang tak mulus karena bekas koreng-koreng itu tertutupi. Walau tampak lucu dari penampilan peserta lain. “Ah cuek saja lah,” pikirku dalam hati, niatku hanya ikut meramaikan acara saja.
Undian pemilihan ayat yang akan ditampilkan pun dilakukan, aku kebagian surat Al-Anfal. Pada beberapa sisa waktu yang ada pak guru mengajariku melantunkan surat itu.
Saatnya seluruh peserta berkumpul dan menunggu giliran panggilan untuk tampil.
“Ananda Saifullah dari Madrasah ibtidaiyah Islamiyah” deg, jantungku berdegup, sedikit grogi. Spontan pak guru bertepuk tangan mensuportku, kulihat tak ada penonton lain yang bertepuk tangan kecuali beliau seorang.
“Bismillah, semoga lancar” dalam hati aku berdo’a.
Aku telah berada di panggung itu, sebelum lampu hijau menyala tanda aba-aba untuk mulai, aku dan pak guru saling bertatap, beliau lemparkan senyum kepadaku tanda support supaya aku tidak begitu grogi.
Lampu hijau pun menyala, kulantunkan surat al-anfal ayat satu sampai dengan tiga. Dengan hati-hati dan penuh konsentrasi aku melantunkanya sesuai yang diajarkan oleh pak guru kepadaku. Setiap peserta diberi waktu 15 menit untuk menampilkannya. Lampu merah pun menyala sebagai aba-aba untuk kusudahi tampilanku. Shadaqallahuladziim, Alhamdulillah aku merasa lega, pak guru pun kembali bertepuk tangan atas tampilanku itu.

Detik-detik menunggu pengumuman pemenang pun tiba. Saatnya dewan juri mengumumkan nama-nama pemenang dalam lomba itu untuk maju kedepan. Juara ketiga di raih oleh SD daerah kota kabupaten, Aku lupa siapa nama pesertanya. Juara ketiga diraih oleh SD daerah kecamatan kami, Umar namanya, karena ketika itu aku sempat duduk bareng disampingnya sebelum lomba dimulai.
Kembali pengumuman dari dewan juri.
“Juara pertama diraih oleh nomor undian 17 dari Madrasah Ibtida’iyah Islamiyah...” Aku menengok tanda pengenalku yang menempel di saku sebelah kiri bajuku. Ku lihat nomor peserta 17 tak lain adalah aku. Aku saling beradu pandang dengan Pak Guru yang duduk disampingku. Mendadak jantungku berdebar kencang. Aku sempat tak percaya jika sang juara dalam lomba itu adalah aku. Pak guru pun menyungging senyum penuh ceria sembari bertepuk tangan lalu menyuruhku untuk maju kedepan menerima penghargaan itu. Aku pun naik ke atas panggung dengan penampilan unikku, bersarung diantara mereka yang tampak ramping dan rapi.
Sebagai dokumentasi, panitia mengambil gambar seluruh peserta. Yups, tepatnya foto-foto. Yang berhasil menyabet juara berpose di depan lengkap dengan piala di tangan masing-masing. Alhasil aku yang bak pengantin sunat itu berpose di tengah sebagai pusat perhatian audiens.
&&&
Sore itu selapas lomba Qiroatil Qur’an pak guru mengantarku hingga ke rumah. Tampak emak sedang asyik menata kayu-kayu bakar di halaman rumah. Aku menyalami emak lalu ku cium tangan beliau. Pak guru melempar senyum kepada kami sebelum beliau menggayuh sepeda meninggalkan kami.
Aku tak bisa mengumpat rasa suka cita ini.
“Gimana, Pul, lombanya?”
“Alhamdulillah lancar, Mak.”
“Lancar gimana?”
“Ipul dapat juara satu, Mak.” Jawabku sembari menyodorkan amplop hadiah lomba berisikan uang tunai Rp 25000. Emak turut gembira seraya menciumi aku yang tengah sibuk melepaskan baju seragam sekolah yang kukenakan.
Kembali aku menengok benih-benih singkong yang telah bertunas itu. Pasalnya pagi tadi tidak sempat ku longok dikarenakan tugas yang ku emban mewakili sekolahku. Tampaknya benih-benih itu sudah siap tanam. Tidak menunggu lama untuk menunggu tunas-tunas itu tumbuh. Kira-kira seminggu saja asalkan rajin menyiraminya.
&&&
Lima bulan sudah aku bergelut dengan tanaman singkong di pekarangan rumah. Dalam kurun waktu itu, tidak hanya menanti buahnya saja, namun pucuk daun mudanya pun bisa digunakan sebagai lalapan yang konon mengandung zat besi. Tiba saatnya umbi akar itu siap dipanen. Satu demi satu ku dongkrak akar-akar yang telah membesar itu. Alhamduliullah setelah penantian yang cukup panjang itu akhirnya aku dapat mrnuai hasilnya.
Emak yang cukup kreatif membuat aneka makanan darinya. Salah satunya dibuat seperti mata sapi. Singkong diparut halus, diberi sedikit pewarna menggunakan daun katu biar tampak hijau warnanya. Sebagian yang lain diberi pewarna merah dari pucuk daun jati. Kedua adonan yang telah diwarnai itu dipadukan sehingga tampak menarik. Buah pisang diletakkan ditengahnya dalam balutan daun pisang. Setelah dikukus hingga masak, jadilah kue itu seperti mata sapi setelah dipotong-potong.
Sebagian yang lain dari singkong itu dicampurkan dengan ragi. Lalu didiamkan selama kurang lebih tiga hari untuk menunggu proses fermentasi. Maka jadi lah tape singkong atau biasa disebut peiyem.
Tak lupa ku sisihkan kue dari umbi akar itu kepada ustadz Hasan yang telah membekaliku bakal karbohidrat itu. Aku mencoba keliling kampung untuk menawarkan kue bikinan emak, barangkali saja ada yang berminat membelinya.
Seperti sebelumnya aku pun memilih beberapa batang pohon singkong untuk dijadikan benih. Ku tanam lalu ku tanam sehingga tidak habis begitu saja.

&&&