Monday, December 19, 2011

MALAIKAT KECIL BABA





Pagi itu ku lihat baba telah siap dengan pakaian gerilyanya. Baba tampak fresh lengkap dengan senapan yang dikalungkannya. Aku melihanya lekat-lekat. Aku tersenyum melihat baba. Baba memang tergabung dalam angkatan bersenjata sebagai pembela alAqsho. Aku bangga mempunyai baba seorang pemberani. Tak gentar dengan serangan yahudi yang lengkap dengan persenjataan mereka.
Aku yang baru berusia 6 tahun kerap kali diajari bagaimana cara memegang senapan. Jiwa pemberani telah ditanamkan kepadaku sejak dini. Aku pun banyak belajar dari baba tentang itu.

“Misy’al, kau harus jadi muslim sejati, Nak...dimana jika kau tinggal dalam suatu wilayah, lalu wilayahmu sedang dalam bahaya, kau jangan lari tuk menghindarinya. Jangan jadi pengecut!” Tegas baba.

“ Kau harus bertekad kuat membela negerimu. Apa lagi musuh yang menyerang kita adalah tentara kafir. Jangan takut dan jangan takut! Allah bersama kita.” Lanjutnya lagi.
Aku menyimpan kalimat-kalimat baba dalam memoriku.

Terlihat mama membawakan hidangan secangkir teh susu dengan sepotong roti serta biji-biji zaitun dalam wadah kecil untuk sarapa baba. Aku dan mama menyaksikan baba menikmati hidangan itu. Sseperti itulah kebiasaan mama jika baba harus berangkat pagi-pagi. Aku, mama dan adikku akan menyantap srapan agak siangan.

Usai sarapan, baba berpamitan. “Jaga Fatiya adikmu, jangan jauh-jauh dari mama. Jangan lupa kau bantu-bantu mama.” Ujar baba kepadaku. Aku pun mengangguk, Lalu ku cium tangan beliau sebelum beliau berangkat. Tak ketinggalan baba pun berpamitan kepada mama, dikecupnya kening mama. “Robbana ma’ak ”, ucap mama mendo’akan baba.

Baba pun melangkah keluar dengan langkah gagahnya penuh keberanian. Usai melepas keberangkatan baba ba’da subuh itu, kami pun kembali melanjutkan aktifitas seperti biasa. Aku membantu mama membersihkan rumah. Rumah kami sederhana saja. Hanya ada satu kamar lalu dapur bersamaan dengan kamar mandi dan satu lagi ruang serba guna, serba guna untuk ruang keluarga ataupun untuk makan bersama. Di ruang itu pula terdapat dipan kecil ukuran 1x2 meter untuk tempat tidurku.
Aku membangunkan adik perempuanku yang masih terlelap lalu membantunya membersihkan badan. Fatiya tidak sempat melihat baba berangkat karena tadi ia masih terlelap.

&&&

Hari semakin siang. Mata hari pun semakin naik mamancarkan sinarnya menghangatkan tubuh setiap penduduk bumi. Aku sama sekali tak melihat wajah mama cemas atau pun takut dalam kondisi itu. Kulihat wajahnya tenang, tampak bibirnya tak lepas menyebut asmaNya. Hanya do’a yang bisa kami panjatkan untuk baba yang tengah berjuang, semoga selalu dalam lindunganNya.

“Jangan takut mati karena perang.” Itulah kalimat yang selalu mama tanamkan. Mati bisa terjadi kapan saja jika Allah berkehendak. Bahkan sedang tidur terlelap pun jika Allah berkehendak maka ia tak akan bangun untuk selamanya.

“Perjuangan baba adalah jihad, Nak. Jihad fi sabilillah insyaAllah. Kalau pun baba meningggal insyaAllah syahid.”
“mama sudah siap seandainya baba tidak pulang untuk selamanya?”
Dijawabnya pertanyaanku dengan senyum mengembang.
“Cepat atau lambat kita pun akan kembali kepadaNya.” Ucap mama menimpali pertanyaanku.

&&&

BBUUMMM.....BUUMMMM...BUUMMM....

Terdengar suara ledakan bom di luar sana. Kulihat suasana luar, asap tebal mengalun. Percikan-percikan debunya pun sampai ke sekitar tempat tinggal kami.

BUMMMM.... Lagi-lagi suara itu terdengar. Seakan sudah tak asing lagi bagi kami bunyi-bunyian semacam itu. Ingin Rasanya aku ikut berada di medan itu. Bukanya takut namun semangatku kian berkobar ingin ikut membasmi pasukan kafir tak berperasaan itu. Yahudi memang keji dan patut dimusuhi. Namun aku ingat pesanan baba agar aku tak jauh-jauh dari mama. Kelak jika usiaku remaja, aku pun akan meminta izin kepada baba dan mama agar aku diperbolehkan berjuang bersama bala tentara Allah.

Hari pun semakin gelap. Aku, mama dan fatiya berkumpul di ruang serba guna. Tepatnya kami duduk bertiga pada dipan tempat tidurku. Baba belum juga pulang. Ingin ku bertanya kepada mama tentang keberadaan baba namun ku urungkan. Aku sudah tahu jawaban apa yang akan mama lontarkan. Kulihat adik kecilku yang berbeda usia setahun dariku telah terlelap di pangkuan mama.

“Allah...lindungilah baba jika memang baba masih berada di dunia ini. Jika memang baba telah berada di kehidupan selanjutnya, berilah tempat yang mulia baginya, ya Robb.” Hanya itu do’a yang bisa kupanjatkan dalam suasana menegangkan seperti sekarang ini.

Hingga Fajr tiba, sosok baba belum juga hadir di rumah kami. Usai sholat Fajr kupanjatkan do’a untuk baba. Kuihat mama masih asyik dalam sujud panjangnya memohon kepada Dzat yang maha satu sambil berurai air mata. Ya, aku memang mengamati mama pada sujud terakhirnya sebelum salam. Kenapa lama sekali mama sujud, batinku.

Kali itu Fatiya ikut bangun bersama kami pada waktu fajr. Aku dan mama memulai hari dengan tilawatil Qur’an seusai sholat. Fatiya hanya duduk diam mendengarka bacaan Qur,an kami. Hari itu adalah hari Jum’at, hari liburku dari belajar di madrasah.
Kulihat adikku tampak cantik hari itu. Tampak lebih cerah dari biasanya. Rambut pirang dengan kulit putih, serta bibir merahnya mengembangkan senyum kepadaku.

“Akhuya , Fatiya belum lihat baba sejak kemarin...”

Aku terdiam mendengar kalimat yang dilontarkan oleh adik mungilku. Adikku terus saja menebar senyum termanisnya kepadaku dan mama. Kutinggalkan Fatiya di ruangan itu. Aku menghampiri mama yang tengah menyiapkan sarapan di dapur. Pagi itu kira-kira sekitar pukul 08.00, suasanya begitu cerah. Walau dalam hati kami harap-harap cemas menanti kahadiran baba.

“Babaaaaa....................................................................................”

Terdengar suara Fatiya memanggil baba. Aku dan mama segera berlarian menuju pintu depan ingin menyambut kehadiran baba setelah harap-harap cemas sejak kemarin pagi. Namun kulihat Fatiya tidak langsung menubruk baba. Ia berlari lalu membelakangi baba.
Tiba-tiba,

DORRR....DORRR.....DORRR

Tubuh mungil Fatiya berlumuran darah diberondong peluru. Rupanya Fatiya melihat ada seseorang mengintai baba siap dengan senjatanya.
“Fatiyaaaa…..” Aku, mama dan baba berteriak histeris.
Kami terperanjat melihat peristiwa yang tak terbayangkan itu. Kulihat tentara yahudi segera lari meninggalkan area setelah memuntahkan peluru dari senapannya pada tubuh mungil adikku. Ingin rasanya ku kejar, namun mendadak langkah kakiku berat karena diliputi rasa iba yang sangat terhadap derita sikecil Fatiya.

Seketika itu dibopongnya tubuh mungil Fatiya yang berlumuruan darah oleh baba. Fatiya adik mungilku yang cantik adalah malaikat kecil kami untuk baba. Selamat jalan, Sayang. Engkau telah dijemput olehNya, berjejer bersama bala tenteraNya yang Syahid.

&&&


# Elwasha Taif, 23 Rajab 1431 H (5 Juli 2010)
Pagi yang cerah, dalam libur mengorek inspirasi yang terkubur. Bersama a song for palestin “We Will not Go Down”


*Catatan kaki
Robbana ma’ak : Tuhan kita bersamamu
Dipan : Tempat tidur yang terbuat dari kayu
Fajr : Subuh
Akhuya : Kakak laki-laki

DILEMA

Kabur, kabur, kabuuurrrr.....barang kali itu yang ada dalam anganya. Sambil gelisah, mondar-mandir ia berfikir dalam kamarnya yang terletak di lantai dua. Dilongoknya kembali suasana rumah itu. Sepi, senyap. Tuan dan nyonya sedang menikmati week end pada kamis itu. Hanya ada seorang nenek tua yang biasa ia asuh dan adik perempuan sang tuan yang tengah terlelap di kamarnya.

Kabur, kabur, kabur......lagi-lagi kata-kata itu yang terbesit dalam angannya. Dilongoknya juga suasana di luar jendela.
“Namun bagaimana caraku keluar? Bagaimana kelanjutan kisahku jika aku keluar dari rumah ini? Kepada siapa aku menumpang pada negeri yang tertutup ini?” Gumamnya dalam hati sambil terus mondar-mandir, berharap temukan ide jernih dalam ketidaknyamanannya.

Ingatannnya pun terbesit pada situasi genting serta mendebarkan. Upaya menyelamatkan diri demi mempertahankan kehormatanya yang hampir tercabik-cabik oleh nafsu gila sang tuan yang tengah kesurupan. Ya, kesurupan syetan terkutuk menurut bahasanya.

Malam itu ia tengah rehat setelah lelah mengerjakan tugas harian seperti biasanya. Bersih-bersih, melicinkan baju, belum lagi menata perabotan yang kerap kali berantakan atas ulah anak nakal usia tujuh tahun yang terkena retradasi mental. Memang kebiasaan orang rumah hanya tidur, makan, main. Seperti itulah kebiasaan mereka, seakan tak mengenal ilmu tata graha. Hanya menata diri dan berpoles ria yang mereka tahu. Itu pun pergi ke salon untuk memolesnya jika ada acara pesta kumpul-kumpul bersama kerabat.

ketika itu sang nyonya tengah menghadiri acara walimatul ursy, berpesta ria dengan gaun yang tetah disiapkan bberapa bulan sebelumnya untuk menghadiri acara itu. Acaranya dilaksanakan pada hotel berbintang. Biasanya hingga larut malam pesta itu berlangsung, bisa selelesai sekitar 03.00 dini hari. Mungkin itu dijadikan aji mumpung juga bagi perempuan-perempuan saudi yang biasa dikurung di rumah, kurang sosialisasi dengan tetangga. Memang bisa dibilang tidak mengenal tetangga sama sekali, kecuali kerabat dan hanya bertemu pada acara-acara tertentu. Ya ajang itu dijadikan ajang bersuka ria, berdandan secantik mungkin dengan gaun yang anggun menurut mereka. Dibalik abaya yang tertutup rapat mereka tampak anggun, walau tak jarang yang memaksakan diri dengan body full fat dalam balutan gaun super seksi sehingga tampak seperti kue lepet. Berdansa serta makan-makan, hidangan adalah hal yang tak ketingalan dalam momen kumpul-kumpul, mungkin salah satunya ngerumpi adalah hal yang tak ketinggalan juga dalam acara temu kerabat itu.

Sementara ia yang tengah menikmati rehat dalam renung teringat akan sanak famili nun jauh di seberang sana. Anak semata wayangnya ia tinggalkan. Dengan dalih ingin berjuang demi masa depan anak, ia rela berpisah sementara dengan putri semata wayangnya yang ia titipkan pada orang tuanya yang tak lagi muda. Apa boleh buat, hidup adalah pilihan. Memang perempuan tak boleh bepergian jauh tanpa mahram, namun jika kondisi yang memaksakan dirinya dalam pilihan seperti itu, siapa yang dapat mencegah? Kepada siapa ia minta tolong jika tidak dirinya sendiri yang berusaha. Hanya pertolongan tuhan yang ia harap pada nasib yang harus ia jalani. Sang suami tercinta telah lama menghilang tanpa kabar. Pada kecelakaan kapal dua tahun yang lalu sebelum ia memutuskan untuk beradu nasib ke negeri seberang. Jasadnya saja tak pernah ia jumpai, hidup atau mati pun ia tidak tahu. Hanya tuhan yang tahu keberadaan suami tercintany. Seandainya memang telah berada pada kehidupan berikutnya, doanya semoga ayah dari putrinya itu mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya.

Toktoktok...terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar kamarnya. “Siapa?” Pikirnya dalam hati. “Bukanya tuan dan nyonya sekeluarga sedang ada acara?” Ia pun diam sejenak tidak menghiraukan suara yang bersumber dari luar kamarnya itu.

Toktoktok....toktoktok...terdengar lagi suara itu. “Iftah al baab ya Sarah...” terdengar suara dari luar, tidak begitu keras, hanya bisa terdengar dalam suasana hening. Seperti suara laki-laki. Pikirnya selama ia tinggal di rumah itu hanya suara perempuan lah yang selalu terdengar di lingkungan kamarnya.
Sarah pun masih diam. Allah siapa kah orang itu? Ia pun membukakan pintu.
“Tuan, bukannya Tuan sedang ada acara keluarga?”
“Iya, saya pulang duluan, biar saja, masih ada Basim yang akan mengantar mamanya pulang. Saya agak letih makanya pulang duluan.”
“Ooh, lau ada perlu apa Tuan memanggil saya?”
“Saya mau minta tolong buatkan qahwa”
“Baiklah, Tuan, akan saya buatkan.”

Ia pun melangkah ke dapur membuatkan pesanan sang tuan. Tak lama kemudian ia mengantarkan kepada tuanya qahwa dengan aroma khas segar menghampiri indra penciuman. Seperti aroma jahe, namun tak ada rasa jahe jika diminum. Minuman itu cocok dipasangkan dengan makanan manis seperti coklat atau kurma. “Heran, tak biasanya tuan malam-malam minta dibuatkan kopi khas arab itu. Karena kopi arab itu biasa dinikmati dipagi hari ketika keluarga kumpul bersama menikmati sarapan.” Pikirnya dalam hati. “Ah mungkin tuan sedang tidak enak badan.” Karena menurut sugesti mereka pun kopi arab bisa mengurangi sakit perut.

Ia kembali ke kamar, melanjutkan niatnya menikmati rehat setelah lelah. Tanpa sepengetahuannya sang tuan membuntutinya. Tiba-terdengar suara pintu terbuka tanpa bunyi ketuk pintu atau suara orang memanggil. Memang ia tadi belum sempat mengunci pintu kamarnya.
“Tuan, ada perlu apa tuan mengikuti saya?”
Tanpa jawab, hanya dengan caranya menatap sarah paham jika kondisi saat itu tidak bersahabat. Sarah mundur ketakuatan, berusaha menjauhi pemandangan yang menakutkan itu. Ia pun berusaha menghindar. Menghindar dan menghindar. “Hasbiyallah, Haram alaik..” serunya meredam ketakutan. Namun ucapanya itu tak dihiraukan oleh orang yang tengah kesurupan setan yang terkutuk itu. Lelaki itu semakin mendekat. Ia selalu berusaha menghindar, dan lari keluar dari kamar. Apa lah daya seorang perempuan kurus dibanding dengan tubuh gendut yang mengejarnya itu. Lelaki gendut itu pun dapat menggapai perempuan kurus yang dikejarnya itu. Namun ia hanya menggapai baju pada bagian pundak perempuan kurus itu, sehingga robeklah baju karena si perempuan terus berusaha menyelamatkan diri dalam lingkup rumah itu.

Ketika tiba pada suasana yang menegangkan, bagai kucing hendak melahap ikan asin di depanya. Tiba-tiba terdengar suara bel dari luar....tingtongtingtongtingtong....tampaknya si Basim memainkan bunyi bel itu. Terdengar suara basim putra sulungnya yang berusia sekitar 17 tahun serta nyonya dan lain-lain telah pulang dari acara pesta itu. Sarah pun segera membetulkan kerudungnya dan membetulkan bajunya serta menutupi bagian yang robek itu. Ia segera bergegas menuju pintu utama menyambut nyonya dan lainya.

Alhamdulillah.... ucap syukurnya. “Terimakasih ya Robb Kau telah selamatkan hamba dari aksi gila itu. Selamatkan hamba dari hal-hal keji seperti tadi ya Robb. Hamba berlindung kepada-Mua ya Robb. Kepada siapa lagi hamba berlindung jika tidak kepada-Mu.” Sujud syukur pun ia lakukan setelah selamat dari mara bahaya itu.

&&&

Sejak peristiwa itu rasanya ia tidak lagi nyaman berada di lingkungan itu. Apa lagi jika suasana rumah tengah sepi. Perasaan waswas selalu meliputi dirinya. Sang tuan yang katanya seorang polisi yang seharusnya menegakkan hukum tak ubahnya seperti binatang jalang yang tak tahu adab. Ia yang baru saja tiga bulan tinggal di lingkunga itu rasanya telah benar-benar tidak nyaman.

Peristiwa serupa pun terulang lagi dua minggu kemudian. Sepertinya lelaki itu begitu marah karena aksi yang lalu telah gagal. Lagi-lagi sang nyonya sedang keluar rumah. Mungkin sedang shoping atau sekedar jalan-jalan saja. Biasanya memang seperti itu, jika Nyonya ada keperuan maka tuan lah yang mengantarkan, lalu jika keperlunya sudah selesai barulah nyonya menelpon tuan minta dijemput. Tak ada supir pribadi di rumah itu.

Kali itu, baru saja lelaki tak beradab itu mendekatinya, tiba-tiba hand phone bersumber dari sakunya berdering. Ternyata bunyi telephone itu dari nyonya yang minta dijemput karena keperluanya telah selesai. Tak biasanya pula nyonya keluar secepat itu. Baru keluar sekitar tiga puluh menit sudah minta dijemput. “Allah kareem...Syukron ya Robb, Engkau telah menyelamatkan hamba dari perbuatan bejad itu.” Ucap syukurnya sembari bernafas lega.

Ruppanya tidak ada kapoknya juga lelaki tak beradab itu berusaha menggangu perempuan kurus dibandingkan dengan istrinya itu. Entah apa yang ada dalam otak tidak warasnya itu. Padahal telah mempunyai yang halal namun masih serakah. Layaknya seseorang yang buta hukum. Tidak malu dengan jabatan yang diembanya. Atau hanya sekedar seragam biar terlihat keren saja. Ghairu adab, mungkin itu sebutan yang cocok untuk manusia dengan tingkah seperti binatang.

Terakhir, peristiwa tidak menyenangkan itu terulang siang kemarin. Pada terik matahari di atas kepala. Namun sang Maha pelindung masih melindungi perempuan kurus berkulit putih itu. Ya, ketika itu menjelang waktu dzuhur. Memang jika syetan telah merasup, tak lagi peduli dengan waktu atau pun tempat untuk melampiaskan hal buruk lagi terkutuk. Siang itu ia tengah asyik membereskan dapur setelah selesai memasak. Tanpa sepengetahuanya lelaki buruk hati itu tengah mengintai di belakangnya. Ia terperanjat ketika membalikkan badan menjumpai pemandangan yang membuatnya tidak betah. Melihat terkelebat bajunya saja tidak sudi, dan kali itu rupa buruk orang yang membuatnya trauma itu telah benar-benar di depannya. Ia pun kaget dibuatnya, sehingga cerek yang ia pegang pun terjatuh.

Prraaaaakkkkk....ia tarik mundur langkahnya. Mundur dan mundur. Ketika tak ada lagi ruang untuk memberinya kesempatan berjalan mundur karena telah mentok pada sebuah dinding, langkahnya pun terhenti. “kemana lagi aku kan menghindar?” Ia terjebak dalam kondisi genting. Ketika ia hendak melangkah ke samping dengan suasana hati yang tergopoh-gopoh, entah dengan cara apa lagi menghindarinya. Tiba-tiba suara Adzan berkumandang. Ya, telah masuk wahtu dzuhur. Tak lama kemudian suara nenek tua yang cempreng pun terdengar memanggil namanya. Biasa jika waktu sholat tiba ia minta ditemani untuk mengambil air wudu dengan kursi rodanya.Ketiga kalinya ia pun selamat dari aksi bejad sang tuan.
&&&

Sepertinya kondisi itu sudah tak dapat ia tolerir lagi. Bagaimanapun caranya ia ingin lepas dari segala ketidaknyamanannya itu. Barangkali itu yang terbesit dalam benaknya. Siang itu kondisi rumah telah benar-benar sepi. Semua penghuni rumah tengah menikmati liburan akhir pekan. Sengaja ia menolak ketika diajak. Tepatnnya sekitar pukul 14.30 ia sendiri di kamar itu. Tak lupa pintu kamar ia kunci rapat-rapat. Lagi-lagi ia menengok keluar jendela. “Bagaimana aku turun dari jendela setinggi ini?” Pikirnya dalam hati. Namun ia pikir-pikir lagi, barang kali ini waktu yang tepat untuknya. Ya, waktu yang tepat untuk terlepas dari segala ketidaknyamananya.

Loncat dari jendela itulah cara satu-satunya. Tanpa memikirkan seperti apa sakitnya jatuh dari tembok dengan tinggi sekitar tujuh meter saja. Begitulah niatnya untuk menyelamatkan diri, bukan bunuh diri. Pikirnya ia masih punya iman untuk tidak mengakhiri hidupnya dengan jalan yang tidak diridloi oleh-Nya. Sekali lagi ditegaskan dalam niatnya, bahwa usahanya adalah untuk menyelamatka diri. Bukan bunuh diri. Ada pun nanti dalam upaya menyelamkan dirinya itu lalu Allah mencabut nyawanya, itu sama sekali diluar niatnya. Begitu ia menguatkan tekad.

Dibawanya tas ukuran sedang dengan sedikit baju dan buku telephone yang dianggapnya penting. Handphone saja ia belum punya. Uang, tak terbesit sama sekali dibenaknya untuk membawa uang, karena memang belum mendapat gaji selama tiga bulan itu.

Bismillah, dengan abaya dan kerudung sekenanya. Tak sempat ia kenakan tutup wajah, hanya dimasukkannya dalam tas. Loncat, dan ia pun benar-benar loncat...Gedebug...kira-kira seperti itu bunyinya. Antara sadar dan tidak sadar. Pelan-pelan ia pun membuka mata, karena tadi sebelum loncat ia menutup kelopak matanya. Membuka mata sambil menahan sakit dan lecet-lecet dikakinya. Ia pun melihat sekitar, ia raba jantungnya ternyata masih berdegup. Ia sadar ternyata dirinya masih berada di dunia. Tak terpikir lagi istilah keseleo atau pun patah tulang atas apa yang telah ia lakukan. Yang ada dalam benaknya adalah ingin segera menjauh dari lingkungan itu.

Ia pun melangkah menjauhi gedung itu. Menjauh lalu menjau. Entah jalan mana yang ia lalui ia tak paham. Berusaha melangkah agar tidak mencurigakan. Kali itu ia telah benar-benar jauh dari rumah yang membuatnya trauma itu. Jauh, jauh dan jauh, entah telah berapa ratus meter ia berjalan kaki. Tak sempat lagi ia memikirkan sejauh mana langkahnya.

Dijumpainya area ramai, segerombolan orang keluar dari bis berseragam putih-putih. Mereka terlihat fresh karena baru saja datang untuk memulai tugas sore. Sepertinya wajah-wajah asia tenggara dan india, pikirnya dalam hati. Sebagian berbelok ke toko, sebagian langsung masuk ke sebuah gedung. Mungkin itu rumah sakit, pikirnya pula. Namun ia mebelokan langkahnya menuju toko itu. “Barang kali ada yang bisa saya tanya disana.” Pikirnya. Ia menghampiri seseorang yang yang berwajah asia. “Mungkin saja mengerti bahasaku.” Pikirnya lagi. Ketika ia bertanya ternyata bahasanya tidak nyambung. Mereka yang berseragam putih-putih itu menggunakan bahasa tagalog, sedangkan dirinya menggunakan bahasa indonesia.

Rupanya seseorang yang berbhasa tagalog itu dapat membaca kepanikannya. Dengan bahasa isyarat si tagalog itu mengajak wanita itu untuk mengikuti dirinya menuju rumah sakit. Kebetulan ketika itu adalah jam berkunjung keluarga kepada pasien, sehingga banyak pendatang berseliweran disana. Alhasil masuklah siperempuan itu mengikuti si tagalog. Lalu dipertemukannya perempuan itu pada seorang perawat yang bahasanya sama dengan wanita itu.
“Lita...come here!” Panggil Weena si tagalog itu. Lita pun mendekati Weena.
Terlihat disana seorang wanita dengan wajah gelisahnya. Lita tak paham apa maksud Weena memanggil dirinya.
“Lita, can you talk with her, maybe you can understand her language” Jelas Weena.
“Mbak...tolong saya...” Wanita itu merajuk minta tolong sambil berurai air mata.
“Kenapa. Mbak?” Tanya Lita kepada Wanita itu.

Lalu wanita itu menceritakan alur perjalanannya hingga akhirnya ia sampai ke Rumah sakit itu. Lita yang hanya bergelut dengan dunia asrama dan area kerjanya seperti kebingungan harus dengan cara apa ia menolong dalam kondisi yang tak leluasa itu. Ia pun Tak begitu paham dengan lingkungan luar. Sementara melihat wanita itu ia benar-benar tidak tega.

Lita akhirnya menghubungi rekannya yang sedang bertugas di lantai tiga. Barangkali rekannya itu bisa menghubungi seseorang yang paham dengan hal-hal seperti itu. Keduanya berdiskusi sambil diliputi rasa panik karena kasiahan melihat Sarah dalam kegelisahanya. Ilegal telah menjadi pilihan Sarah pada negara tertutup yang menganut hukum ketat.

Lita mencoba menghubungi temanya yang tinggal diluar barangkali bisa membantu. Namun apa yang ia dapat? Dalam kondisi terdesak itu seseorang yang katanya bisa menolong meminta imbalan dari Sarah yang benar-benar minta perlindungan. Gila, pikirnya. Sama bangsa sendiri saja segitunya. Sudah keluar dari sarang harimau saja sudah untung bagi Sarah, malah meminta imbalan pada korban yang tidak punya apa-apa. Benar-benar tak punya jiwa belas kasihan sama sekali. Karena kali itu Lita tidak membawa bekal. Dirinya mana tahu jika bakal ada seseorang yang datang minta tolong.

Datanglah Icha yang bertugas di lantai tiga. Membawa kabar jika ada seseorang yang bersedia menolong wanita itu.

Alhamdulillah ketiganya merasa lega. Namun ia masih harus menunggu beberapa saat. Menanti pak Habib yang bersedia menjemputnya.

Sarah hanya bisa pasrah dalam kondisi semacam itu. Berharap Allah akan mempertemukannya dengan orang baik yang berjiwa ikhlas. Si tagalong Weena pun berinisiatif mengumpulkan uang dengan teman-temannya untuk diberikan kepada Sarah. Weena adalah seorang nasrani berkebangsaan philipna. Tidak banyak yang ia kumpulkan hanya 25 SR saja. Karena ketika itu Lita tidak membawa bekal, ia meminta tolong kepada Egyptian bernama Ameera. Berharap ia bersedia meminjamkan uangnya untuk Sarah. Lita berniat mengembalikannya setelah sampai di sakan nanti. Tanpa berfikir panjang Egyptian berparas ayu itu langsung mengeluarkan isi dompetnya sebanyak 150 SR dan memberikannya kepada Lita.

Icha pun kembali mengampiri Lita yang sedang bersama Sarah. Ia mengabarkan bahwa Pak Habib telah siap dengan mobilnya di depan Pintu Tawari. Dengan berhati-hati Lita dan Icha mengantar Sarah menemui Pak Habib. Hanya berbekal 175 SR sarah pun ikut bersama Pak Habib, beradu nasib dengan harapan ditempat baru itu akan lebih baik dari sebelumnya. Walau ia tahu bahwa kondisinya telah menjadi ilegal.

Sesampainya di sakan pun Lita menjumpai Ameera. Ia tidak lupa bahwa siang tadi ia meminjamkan uang untuk seseorang yang tengah dilanda kesulitan. Ia bermaksud mengembalikan sejumlah uang itu. Namun diluar dugaan, Egyptian itu nyaris menolak pemberian Lita. Ia berdalih jika maksudnya adalah menolong. Namun Lita merajuk agar Ameera mau menerima uang pemberianya, karena maksudnya tadi adalah meminjam. Akhirnya keduanya mengambil jalan tengah, Ameera mau menerima 100 SR dari Lita, dan selebihnya adalah untuk Sarah yang tengah dalam kesulitan.

MasyaAllah, dalam kondisi semacam itu ternyata masih ada bangsa lain yang lebih care. Si tagalong Weena dan Ameera Egyptian. Lita jadi teringat kepada orang pertama yang dimintai tolong namun dengan terang-terangan meminta imbalan. Seakan memanfaatkan kondisi genting sebagai bisnis. Sungguh tak berhati menurutnya.

@@@@@

---Teringat akan seseorang yang datang dengan air mata yang belum sempat ku Tanya siapa namanya---

OMAR LAMAR

Tak ku sangka pengembaraanku sampai pada daerah bergunung-gunung batu. Daerah berudara sejuk dibanding wilayah Saudi Arabia pada umumnya. Jika musim panas suhunya hanya seperti iklim tropis saja. Namun jika musim dingin suhunya mencapai lima derajat celcius. Kondisi semacam itu lumayan membuat aku yang biasa tinggal di daerah tropis ini merasa beku. Beku karena enggan beraktivitas, enggan bergerak dan lebih memilih bersembunyi di balik selimut. Meskipun demikian aku mensiasati diri pada tubuh kecilku yang tak tahan dingin itu dengan mengenakan baju tebal berlapis-lapis. Dengan begitu aku dapat beraktifitas pada dingin yang mencekam jika tiba giliranku shift malam. Aku terlihat gemuk oleh lapisan-lapisan baju itu.

Pada pagi, siang, malam aku melakoni tugas harianku sesuai yang di jadwalkan. Berusaha menikmati hari-hari berjumpa dengan rekan kerja, berjumpa dengan anak-anak kecil yang terbaring lemah, mencoba bercanda gurau dengan mereka tuk alihkan pedih yang tengah mereka alami. Lain halnya dengan mereka yang terbaring dalam kondisi kritis dan membutuhkan perhatian khusus. Mesin pemantau selalu stand by membaca kondisi pasien-pasien kritis itu.

Jika tiba gilirannya PM shif t yang dijadwalkan mulai pukul 15:00 sampai dengan pukul 23:00. Pada kesempatan itu keluarga atau pun kerabat si sakit diberi kesempatan untuk berkunjung menjenguknya. Tak begitu lama waktu kunjungan di ruang ICU. Hanya dari pukul 16:00 sampai pukul 18:00 menjelang waktu sholat maghrib tiba. Selama waktu itu kami dihadapkan dengan beberapa pertanyaan mengenai kondisi pasien oleh pengunjung. Satu hal yang membuatku salut, dalam kondisi sekritis apa pun mereka tak ketinggalan mengucapkan alhamdulillah. Puji syukur kepada Allah selalu di panjatkan dalam segala kondisi. Ikhlas dengan apa yang tengah diujikan oleh Allah kepada si sakit atau pun kerabatnya. Tak hanya diucapkan jika dalam momen bahagia saja.
Manusia memiliki berbagai karakter. Jika tidak puas dengan kondisi keluarganya yang terbaring lemah tak jarang yang mengajukan komplen dengan keluhan-keluhan yang disaampaikannya. Alasan ini dan itu diutarakan. Kami sebagai tenaga medis hanya mampu berusaha semaksimal mungkin dalam menolong. Hasilnya kami serahkan kepada sang Maha penyembuh. Lain halnya dengan mereka para penyabar yang ikhlas dalam segala kondisi yang tengah dihadapinya.

&&&

Bercerita mengenai keluarga pasien, ada beberapa keluarga pasien yang kami anggap dekat karena lamanya anak-anak itu dirawat di ruang kronik itu. Bahkan bisa dianggap kami para perawat adalah orang tua dari mereka. Karena para orang tua hanya boleh mengunjungi anaknya itu pada jam kunjungan saja. Bagi mereka yang tempat tinggalnya jauh dari Rumah sakit itu tidak bisa menegok setiap hari. Hanya beberapa kali dalam sebulan saja. Bahkan ada yang beberapa bulan baru muncul melihat anaknya.

Keluarga Umar adalah salah satu dari pasangan orang tua yang sering menjenguk buah hati mereka. Namun hari itu senyum manis mereka tidak tampak. Wajah layu berbalut mendung itulah yang tampak oleh keduanya. Kondisi kesehatan putranya yang semakin kritis menjauhkan wajah mereka dari ceria yang biasa tampak olek keduanya.

Hari itu niqabnya tampak basah. Ia tak mampu lagi menahan kesedihan yang tengah menghampirinya melihat tubuh Umar tersayang terbujur kaku. Setelah lama berharap dalam koma berkepanjangan, hari itu telah terjawab sudah. Bocah mungil yang kehadirannya dinanti selama lima tahun itu kini telah kembali ke pangkuanNya. Ya, bertahun-tahun pasangan suami-istri itu menanti kelahiran umar. Saleh yang dikenal ramah dikalangan keluarga pasien itu, kali itu ia tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya berdiri disamping Rehana istri tercintanya seraya meletakkan tangannya di bahu Rehana. Ia membiarkan sang istri bersandar di bahunya berusaha melerai tangis yang telah pecah. Ah lagi-lagi aku tak kuasa menyaksikan adegan seperti itu. Adegan yang kulihat setelah aku dan rekanku merapikan jasad yang tak lagi bernyawa.

&&&

Saleh adalah seorang pengajar pada salah satu madrasah Tsanawiyah di wilayah Taif K.S.A. Sepeninggalan Umar, kami tak lagi melihat pria berjenggot itu muncul di area kronik itu. Setiap sore ia rajin menengok buah hatinya sekedar membacakan kalamullah lalu mendoakannya. Begitu pun Rehana wanita berkaca mata dengan niqabnya itu tidak lagi tampak di ruangan itu. Ia yang kerap kali dating sekedar bercanda gurau dengan putranya sambil memutar video Hamood hand phone miliknya. Karakternya yang lembut hampir tidak pernah mengeluh komplen kepada dokter atau pun perawat yang bertugas disana. Ya, Kami mengakui tabiat baik kedua sejoli itu.

Pernah suatu ketika ada keluarga pasien yang mengeluh komplen atas kondisi anaknya yang baru saja dirawat di ruang ICU. Lalu kulihat Rehana mendekatinya. Ia memberi pengertian kepada kepada ibu dari pasien itu. “Petugas disini bekerja selama 24 jam dan memberi perhatian penuh. Anak saya telah lebih lama dirawat disini, dan mereka pun perhatian. Bersabarlah, Allah akan menyembuhkan anakmu insyaAllah.” Begitu tutur Rehana kepada ibu dari pasien baru itu. Dan tampak sekali perubahan dari sang ibu tadi setelah mendapat pengertian dari Rehana. Ia tidak lagi mengejukan komplen dengan nada keras seprti sebelumnya.

Memang Kami mengakui emosi dari keluarga pasien kebanyakan labil karena belum menerima kondisi yang tengah menimpa keluarganya. Tak jarang kami sebagai petugas terkadang terkena dampak dari keadaan itu. Namun kami pun memaklumi jika pelampiasan itu masih dalam batas wajar. Apalagi pada penduduk yang terkenal badui diantara penduduk Saudi lainnya. Masih banyak dari mereka yang pendidikanya rendah padahal biaya pendidikan di Negara itu telah dijamin oleh pemerintah namun mereka enggan bersekolah.

&&&

Tiba saatnya bulan Ramadan, dimana jam besuk pasien di Rumah Sakit itu dirubah usai berbuka puasa sampai pukul 11 malam. Malam itu kira-kira selepas sholat tarawih kami melihat saleh dating ke Rumah Sakit. Ia mengunjungi area kronik tempat dahulu Umar dirawat disana. Ia pun mencandai pasien kecil yang terbaring di sana seperti dahulu ia bercanda gurau dengan putranya. Mungkin sekedar melepas rindu kepada buah hatinya yang telah tiada maka itulah yang ia lakukan.

Saleh pun menyapa kami para petugas disana. Ia menyampaikan bahwa maksud kedatanganya sekedar bersilaturrahmi mengingat dahulu putranya pernah dirawat di ruang itu. Sekalian menyampaikan berita gembira bahwa istrinya tengah mengandung. Alhamdulillah kami pun senang mendengar kabar bahagia itu. Semoga kelak anaknya sehat, itu lah satu doa yang kami panjatkan untuk keduanya.

&&&
Spinal muscular atrophy itulah diagnosa yang diderita oleh almarhum Umar Saleh. Saraf bagian ekstremitar yang tidak berfungsi sempurna sehingga ia tidak bisa menggerakan tangan dan kakinya. Hanya sebatas jari telunjuk yang mampu digerakannya.

Tidak hanya Umar yang menderita penykit seperti itu. Lamar salah satunya. Ia adalah salah satu penghuni area kronik dengan diagnose yang sama. Pertumbuhan tubuhnya tidak norman hingga menjalar pada otot-otot pernafasan yang melemah. Untuk bernafas ia harus disuport dengan ventilator melalui jalan nafas buatan yang dilubangi dari lehernya. Tracheostomy yang terpasang permanen dibantu dengan mesin pensuport nafas. Begitulah caranya ia bernafas.

Sedih yang sangat pastilah beban mental yang harus dihadapi oleh kedua pasangan itu ketika harus mendengar kabar bahwa divonis permanen menggunakan ventilator. Seumur hidupnya harus tinggal di rumah Sakit dibantu dengan alat-alat medis.

Bukan masalah biaya pengobatan yang mereka khawatirkan. Karena dana seluruh dana kesehatan warga di Negara itu sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Bahkan para orang tua yang yang mempunyai anak dengan kasus kronik seperti itu mendapat tunjangan khusus sekian ribu Riyal per bulannya. Mungkin maksud pemerintah setempat dengan dana itu sebagai alih-alih pelipur sedih atas kondisi yang menimpa keluarga itu.

Mirisnya ada sebagian keluarga yang memperalat kondisi tersebut. Mereka tidak rela jika anaknya sampai meninggal. Mereka lebih menginginkan anaknya hidup dengan cacat yang dideritanya. Jika sedikit saja kondisi kesehatannya menurun, maka bukan main mengajukan komplen. Ya, dana tunjangan itu mengalir selagi pasien masih hidup. Jika si pasien telah meninggal maka diputus pula dana tunjangan dari pemerintah itu.

Kami menyebut anak-anak tersebut adalah anak mahal. Karena harus sangat hati-hati dalam merawatnya. Semoga pandangan kami dalam hal itu adalah salah, jika memang para orang tua mengajimumpungkan kondisi itu untuk mendapat uang.

&&&

Kedua orang tua lamar pun setiap sore rajin mengunjungi buag hatinya. Walau pun, mereka tahu kondisi anaknya bakal cacat seumur hidup, namun mereka memperlakukanya dengan penuh kasih saying. Sebagai wujud perhatiannya mereka pun membelikan mainan layaknya anak normal seusianya. Sekedar boneka penghias ranjang tidur atau pun portable DVD yang diputarkan untuk menemaninya ketika terjaga. Kalau pun ayah atau ibunya tak sempat menengok, Abdurrahman ayah lamar kerap kali menanyakan kondisi anaknya via telephone. Ia menanyakan kondisi anaknya kepada petugas yang sedang dinas disana.

Dibalik keharmonisannya tercium kabar bahwa Abdurrahman dan fatma ibu lamar sedang pisah ranjang. Mereka nyaris bercerai dengan alas an bahwa fatma menolak untuk mempunyai anak lagi. Kia khawatir jika nanti anakny lahir akan menderita penyakit yang sama seperti kakaknya.

Rupanya kekhawatirannya itu berdampak pada keharmonisan rumah tangga mereka. Dahulu mereka tampak bersama bercanda gurau dengan anaknya yang terbaring sakit di ranjang putih itu. Kala itu tidak lagi demikian adanya. Jika Abdurrahman tengah asyik menemani Lamar, lalu sosok fatma muncul. Maka ia pun pergi memberikan kesempatan kepada Fatma agar bisa bercanda gurau menengok putrinya.

Kejadian itu tidak berlangsung lama. Kurang lebih hanya tiga bulan saja. Setelah keduanya menyadari bahwa segala apa yang terjadi adalah kehendakNya. Fatma pun mau membuka hatinya kembali merajut keharmonisan yang pernah pudar.

&&&

Beberapa bulan setelah Ramadan lalu tampak saleh tengah berbincang-bincang dengan Abdurrahman di dekat tempat tidur Lamar. Seperti yang kerap kali ia lakukan dahulu, setelah menjenguk putranya ia pun menjenguk Lamar yang mempunya diagnose yang sama seperti anaknya.

Rehana telah melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Umar. Sengaja namanya disamakan dengan putra pertamanya, sebagai pengganti umar yang telah tiada. Ia juga berharap Umarnya akan setangguh Umar Bin Khotob sahabat Rosul.

Usia Umar saat itu baru empat bulan. Kali itu memang umar sedang dirawat di lantai atas. Ruang anak biasa pada umumnya akibat pneumonia yang dideritanya.

Setelah beberapa minggu Umar dirawat namun tidak menunjukan adanya perbaikan. Pada minggu Umar dipindahkan ke ICU. Dengan nafas yang tersengal-sengal serta keadaan umum yang jelek Umar dilarikan ke ruang ICU pada malam itu. Diantar oleh dr. Mahboob serta perawat jaga dari ruang anak. Rehana pun ikut serta mengantar putranya itu.

Dokter menjelaskan jika diduga anaknya menderita diagnosa yang sama dengan saudaranya yang telah meninggal. Belum lepas dari ingarutan kami akan sosok Umar yang dahulu, kini umar yang baru dating dengan kasus yang sama.

Kali itu kembali aku melihat Rehana sesenggukan. Sedih yang teramat ia rasakan sudah tak tertahan lagi. Ia lebih memilih menjauh karena tidak tega melihat anaknya harus ditangani oleh tenaga medis.
Aduhai rehana, bersabarlah. Hanya satu kata itu yang mampu ku ucap ketika kami selesai membenahi Umar diruang tindakan.

&&&

Saleh dan Rehana sudah pasrah dengan kondisi anak keduanya. Ia sudah menerima jika memang Umarnya kini akan sama seperti Umarnya yang dahulu. Ia bakal menghuni area kronik itu lagi yang hidupnya bergantung kepada mesin-mesin itu.

Berbeda dengan Fatma ibu Lamar yang dulu sempat khawatir jika mempunyai anak lagi akan bernasib sama. Hal itu sempat mengusik keharmonisan rumah tangga mereka. Sebaliknya Rehana dan Saleh semakin romantis saja. Mereka berkeinginan untuk mempunyai momongan lagi. Mereka berharap kelak Allah akan memberikan keturunan untuk mereka dengan sehat jasmani dan rohani.

Untuk itu Rehana benar-benar menjaga kesehatannya. Ia pun rela dan sangat menginginkan jika nanti akan ada lagi janin yang tumbuh di rahimnya. Karena itu ia tak sering tampak mengunjungi Umar di ruang itu. Hanya Saleh dan kerabat lain yang tak jemu menengok Umar.

Suatu ketika aku bertugas di sore hari. Tampak Rehana berada di Area kronik bercanda gurau dengan Umar. Aku menghampirinya. Cipika-cipiki serta salam dan kabar ku tanyakan. Rasanya aku begitu kangen dengan kelembutannya. Ketika usia Umar setahun lebih empat bulan. Rehana menggendong bayi mungil yang diberi nama Jana, tak lain itu adalah adik kandung Umar. Mereka sangat berharap jika Jana akan benar-benar sehat sebagai penerus pasangan itu. Penantian panjang oleh kedua sejoli itu akhirnya terwujud sudah dengan hadirnya Jana si bayi mungil itu.

_________&&&___________

Cibubur, 8 februari 2011. Mencuri hening dalam riuh.

Thursday, May 6, 2010

KHANSAIN




Di bukit Marwa usai melaksanakan ritual umroh hingga tahalul, aku duduk rehat di atas bebatuan yang dipoles licin itu. Niatku hanya rehat sejenak, lalu kembali ke arah ka’bah ingin mencium Hajar Aswad tempat pertemuan bibir para nabi. Mumpung pagi itu jama’ah yang tengah bertawaf tidak begitu banyak, sehingga bisa diatur dalam baris antrian. Setelah itu baru ku lanjut dengan i’tikaf, berdiam diri di Masjid.
Kaltsum yang sejak tadi bebarengan denganku, kini ia pergi barang sebentar untuk mengambil air zam-zam. Aku hanya menunggunya di atas bebatuan licin itu.

Seorang perempuan paruh baya berkebangsaan Malaysia menghampiriku. Ia bermaksud meminjam gunting untuk tahalul. Ku pinjamkan guntingku padanya. Tak lama kemudian ia mengembalikan gunting itu padaku. Ia pun duduk tak jauh dariku.

Tampak di ujung sana tak jauh dari pandaanganku, seorang anak kecil cantik dengan mukena bercorak bunga-bunga. Ditaksir usianya sekitar lima tahun. Pandangannya terarah pada area tempatku duduk. Aku pun sempat bertemu pandang dengannya. Pikirku, mungkin dia tengah memperhatikan wanita di sebelahku. Aku pun mengabaikannya.

Sesekali ku jatuhkan pandanganku pada sikecil yang imut itu. Ia melempar senyum padaku. Aku pun membalas senyumnya kembali.

Kaltsum yang sedari tadi mengambil air zam-zam, kini telah tiba dihadapanku. Ia membawakan dua gelas plastik air zam-zam. Satu untukku dan yang satu lagi untuk dirinya sendiri.
Ku hadapkan badanku ke arah Qiblat. Bismillahirrohmanirrohiim, ku teguk air zam-zam itu. Ku beri jeda sambil bernafas tiga kali sebelum tegukan selanjutnya. Tiga kali tegukan zam-zam telah ku minum. Alhamdulillah...
Tak lupa ku panjatkan do’a setelah meminumnya.
Allahumma inni as’aluka ilman nafi’an, warizqon wasia’an, wasyifa’an minkulli da’in, wasaqomin, ya arhamarrohimiin...
Ya Allah sesungguhnya aku memohon kapada-Mu ilmu yang manfaat, rizki yang luas dan obatilah dari segala penyakit dan penderitaan, wahai dzat yang memberi rahmat
.”
Sesuai dengan hadits nabi “ma’u zamzam limaa syuriba lahu.” Bahwa air zam-zam mengikuti kehendak orang yang meminumnya.

Ketika aku hendak beranjak bersama Kaltsum, terdengar suara anak kecil menyeru, “bunda...” Aku tidak menghiraukanya. Mungkin panggilan itu ditujukan pada wanita di sebelahku. Pikirku dalam hati.
Baru selanghah kakiku bergerak, kemudian sikecil menghadang langkahku seraya menarik tanganku sambil berseru, “bunda...”
Aku tercengang dibuatnya. Aduhai...siapa anak manis ini?
Aku dan Kaltsum saling beradu pandang.

&&&

Sikecil menggandengku. Didekatkannya aku pada seorang lelaki berjenggot tipis, rapi, berpakaian ihrom yang tengah duduk sendirian di ujung bukit Marwa, tak jauh dari kerumunan orang-orang yang tengah bertahalul.
Kaltsum mengikuti langkahku dan sikecil.

“Ayah, ayo kita pulang sama-sama bunda, yah. Benarkah bunda seperti ini, yah? Seperti cerita ayah, kalo bunda tu cantik, pake jilbab. Itu kan yang sering ayah bilang? Ayah juga sering beribadah bersama bunda di Haram ini. Ayo, yah, sekarang bunda sudah ada disini. Kita pulang sama-sama ya, yah...”

Aku semakin tidak mengerti denga celoteh anak ini.
Kemudia lelaki itu bersuara,
“Khansa...”
Aku dan sikecil menoleh ke arah lelaki itu.
Bagaimana dia tahu namaku? Tanyaku dalam hati.
“Ayah, Khansa kangen bunda...” suara sikecil memelas.
Ternyata nama sikecil sama dengan namaku.

“Ma’afkan putri saya, ukhti.”
“tidak mengapa, akhi.” Jawabku.
“Ukhti jama’ah umroh dari indonesia juga?”
“Tidak, akhi, saya mukim disini.”
“Ooh, tepatnya dimana?”
“Saya tinggal di hay Salamah Jeddah. Kebetulan saya mengajar di Darul Ulum, sekolah anak-anak Indonesia.”
“Saya pernah mukim disini juga, ikut belajar di el Sawlatiyah Makkah. Ukhti kenal dengan bu Layla? Suami beliau kepala sekolah di Darul Ulum.”
“Bu Layla istri pak Zainal?”
“Ya benar, bu Layla adalah bibi saya.”
“ya, saya paham dengan beliau.”
“Sampaikan salam saya pada bu Layla, ukhti. Sekali lagi ma’afkan atas tingkah putri saya.”
“Insya Allah akan saya sampaikan salamnya.”

Lelaki itu kemudian berlalu sambil menggendong sikecil. Menjauh dari bukit Marwa dan berbaur dengan orang-orang yang tengah melakukan sa’i. Kulihat sikecil mengarahkan pandanganya ke arahku dengan wajah mengiba. Seperti seoranganak yang tk mau dipisahkan dari ibunya.

Salam untuk bu Layla. Ingatanku terbesit akan bu Layla. Salam, dari siapa? Aku baru ingat jika tadi kita tidak menanyakan nama satu sama lain. Bagaimana aku menyampaikan salamnya?
Oh, akan ku sampaikan salamnya dari seorang lelaki jama’ah umroh yang mengaku keponakannya, mempunyai putri bernama Khansa dan pernah belajar di el Sawlatiyah. Mungkin dengan begitu, mudah-mudahan bu Layla akan paham.

&&&

Siang itu aku baru saja rehat dari aktivitas mengajarku. Setengah hari bergelut dengan murid-murid lumayan membuatku memutar otak untuk memahami bermacam-macam tingkah mereka.
Tiga hari yang lalu aku berada di Haram, melaksanakan ibadah umroh. Bertemu dengan anak kecil yang aku sendiri tidak paham apa maksudnya.
Bu Layla, salam untuk beliau pun belum aku sampaikan.“
Ting tong...assalaamualaiku...” bunyi jaros terdengar, tanda ada orang di luar minta dibukakan pintu.
Saat itu aku tengah sendiri di Imarah . Kaltsum sedang berbelanja bersama bibinya di baqalah Indonesia untuk penuhi kebutuhan harian. Memang sejak kemarin kulihat isi tsalajah sudah berkurang, sudah tampak ruang-ruang spasi didalamnya.

Aku beranjak keluar membukakan pintu.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam warahmatullah.”
Aku kaget dibuatnya. Bu Layla datang bersama sikecil Khansa yang ku temui di bukit Marwa usai umroh lalu. Cipika-cipiki serta kabar ku tanyakan pada bu Layla. Khansa kecil tampak malu-malu. Kugandeng tangannya lalu ku ajak masuk.

Bu Layla mengawali percakapan.
“Ayahanda Khansa telah menceritakan tentang perjumpaan kalian di Marwa kemarin-kemarin. Kebetulan jama’ah umroh sekarang sedang rekreasi di Jeddah sebelum besok kembali ke Indonesia. Khansa kecil selalu menanyakanmu, Khansa. Karena itu, Nawaf ayah dari Khansa memintaku agar mempertemukan dek Khansa denganmu.”
“Iya bu, kemarin ayahnya dek Khansa titip salam untuk ibu.”
“Alaiki wa alaihissalam”

Ku putar nasheed anak-anak Toyoraljannah. Lalu ku ajak Khansa kecil menikmati hiburan itu.
Aku melanjutkan perbincanganku dengan bu Layla.
“Sejak lahir Khansa tidak pernah melihat wajah ibunya. Ibunya meninggal dalam perjuangan melahirkan bayi mungil yang diberi nama Khansa. Ayahnya begitu sayang kepadanya. Sebagai single parent ayahny begitu telaten merawat putrinya. Hasna, ibu dari Khansa adalah mahasiswi Umm Al Quro Makkah. Sedangkan Nawaf tengah belajar di el Sawlatiyah ketika itu.
Keduanya menikah di Malang di kediaman Hasna pada liburan musim panas. Setelah menikah, mereka kembali ke Makkah untuk menyelesaikan studi masing-masing.
Khansa pun lahir di Makkah. Namun nyawa ibunya tidak tertolong ketika melahirkan si bayi. Jenazah Hasna dimakamkan di Maqbaroh Ma’la Makkah.
Betapa terpukulnya Nawaf menerima kenyataan itu.
Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Khansa pun tumbuh besar. Karena kecerdasanya, ayahnya terkadang kewalahan diberondong berbagai tanya yang dilontarkanya. Salah satunya ia selalu menanyakan keberadaan ibunya. Ia selalu bertanya, kenapa dirinya belum juga bertemu dengan sosok ayu yang selalu diceritakan oleh ayahnya itu?”

Tutur bu Layla panjang lebar tentang Khansa kecil dan akh Nawaf ayahnya.

&&&

Aduhai khansa kecil, betapa merindunya kau pada sosok bunda yang hanya tinggal cerita. Nalarmu belum sampai untuk menerima kenyataan yang sebenarnya.
Aku dapat merasakan rindu yang dialami oleh Kansa kecil. Beruntung aku masih diberi kesempatan untuk melihat wajah ibuku. Walau akhirnya aku kehilangan keduanya. Telah lama aku hidup sebatang kara. Sosok ayah dan ibuku hanya dalam angan saja.

Ketika usiaku sebelas tahun, ketika itu aku duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar. Ibuku dijemput oleh yang maha kuasa. Setahun kemudian ayahku menyusul ibu. Aku hanya seorang anak tunggal tanpa ayah atau pun ibu.
Rasanya dunia begitu senyap bagiku. Kemana kan ku langkahkan kaki ini? Kepada siapa aku hendak berkeluh kesah? Layaknya teman-teman seusiaku yang masih mempunyai keluarga lengkap. Ibu, ayah, kakak, adik, aku tak punya semua itu.

Sepeninggalan ayahku, aku memutuskan untuk belajar di Pondok Pesantren Arroulandlotul Mardliyah Janggalan Kudus. Pikirku dengan tinggal di asrama pondok, aku tidak akan kesepian lagi. Akan ada kawan yang menemani hari-hariku. Di sana aku akan lebih konsentrasi belajar Al Qur’an. Dengan menyibukan diri bergelut dengan Al Qur’an, semoga hari-hariku bisa tenang dan tidak lagi suntuk. Aku berniat untuk bisa menghafal 30 juz. Dan lagi disana tak jauh dari tempat tinggal eyang putriku yang terletak di belakang masjid Menara. Sehingga aku bisa lebih dekat jika berkunjung kepada beliau.

Bismillah, kutinggalkan Kragan Rembang. Ku langkahkan kakiku menuju jalan Kyai Telingsing Janggalan Kudus.
Kusibukan hari-hariku dengan menghafal Al Qur’an dan mengikuti pelajaran-pelajaran penunjang lainnya. Setiap hari Jum’at sore aku berkumpul bersama kawan-kawan saling menyimak hafalan. Seorang melafalkan dan yang lain menyimaknya.

Sesekali aku berkunjung ke rumah eyang putri yang letaknya di belakang masjid Al Aqso, nama lain dari masjid Menara Kudus.
Begitu damainya suasana di masjid itu. Yang terdengar hanyalah lantunan kalamullah. Tampak santri-santri bertengger dengan berbagai pose dalam menghafal ayat-ayat-Nya. Ada yang duduk silah, ada yang menghadap dinding agar lebih konsentrasi, ada pula yang sambil selonjoran sambil bersandar dengan Qur’an kecil di tangan mereka. Ada yang dengan memejamkan mata sambil mulut komat-kamit melafalkan ayat-ayat-Nya, lalu sesekali menengok bacaanya pada Al Qur’an kecil ditangannya.

Melihat damainya suasana masjid Menara, terkadang terkelebat dalam anganku. Mungkin suasana Masjidil Haram Makkah seperti itu kah? Akankah aku berkunjung ke sana?
Haromain, dua tanah Haram yang ku rindu. Makkah, Madinah, aku merindumu. Seperti rinduku pada ayah dan ibuku.

&&&

Usai wisuda khotmil qur’an, aku masih mengabdikan diri pada pondok. Mengajar anak-anak tingkat ibtida , sambil melancarkan hafalanku. Juga ilmu tafsir yang musti ku pelajari atas apa yang telah ku hafal.

Delapan tahun sudah aku tinggal di pondok. Suka duka telah banyak kulalui di sana. Seorang kawan mengabariku jika dibutuhkan seorang hafidzoh untuk mengajar anak-anak Indonesia yang tinggal di Saudi.
Kupertimbangkan apa yang telah diberitakan oleh kawanku itu. Ku timbang dan ku timbang. Barang kali ini adalah jawaban atas rinduku pada Haromain.

Ku ceritaka kabar ini pada bu nyai Habibah selaku pengasuh pondok. Karena pada siapa lagi aku bertukar pendapat jika tidak pada bu nyai yang sudah seperti ibuku sendiri.Beberapa kali aku istikhoroh, mohon petunjuk-Nya, semoga jalan yang ku tempuh ini maslahat .

Kini aku telah berada di tanah gundul Saudi. Rinduku pada Haromain pun telah tersampaikan.

&&&

Tak terbesit sama sekali dalam imajinasiku sebelumnya jika pengembaraanku bakal sampai ke tanah gundul Saudi ini. Aku hanya sebatang kara yang melanglang buana mengikuti arus yang telah digariskan.

Tiga tahun sudah aku mengajar di Darul Ulum. Dalam kurun waktu itu, baru sekali aku menginjakkan kaki di kampung halamanku. Rembang yang telah lama ku tinggalkan sejak ayahku menyusul ibu. Lalu Kudus adalah kampung keduaku. Disanalah masa pendewasaanku. Pada usia yang dipaksa harus berfikir secara dewasa atas kenyataan yang harus ku alami.

Sebulan setelah kepulangan dek Khansa bersama ayahnya ke Indonesia, bu Layla memberi kabar yang sangat mengejutkan bagiku. Akh Nawaf bermaksud melamarku melalui bu Layla.
Aduhai...aku hanya melihatnya sepintas di bukit Marwa sebulan yang lalu. Aku tidak begitu mengenalnya. Begitu pun dia, ku yakin dia pun tak tahu tentang aku. Hanya Khansa kecil yang agak lama ku lihat, karena waktu itu ia berkunjung ke imarahku.

“Bagaimana bisa, bu?”
“Saya tahu siapa kamu, Khansa. Saya telah menceritakan kepada Nawaf tentangmu. Tentang keberadaanmu yang seorang yatim piatu, serta perjalananmu hingga kau sampai disini. Dan maaf, saya telah memberi tahu fotomu kepada Nawaf beberapa minggu yang lalu. Dia yang memintanya, karena Khansa kecil selalu menanyakanmu. Kau istikhoroh dulu, minta petunjuk kepada Allah agar apa yang menjadi keputusanmu maslahat dunia akhirat.”

Aku terdiam sejenak. Mencerna kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh bu Layla.

“Baiklah, bu. Akan saya pikirkan terlebih dahulu.”
“Tidak mengapa, saya tunggu jawabanmu setelah seminggu.”

&&&

Sekian lama aku hidup sebatang kara. Kini ada seseorang yang mengajakku hidup bersama namun ia sudah tak sendiri. Apakah aku bisa masuk ke dalam dunia mereka?
Aku teringat ketika Khansa kecil digendong ayahnya beranjak dari Marwa, dikerumunan orang-orang yang tengah melakukan sa’i. Dengan wajah memelas, pandanganya seakan tak mau lepas menatap wajahku.
Duh...Allah, berilah petunjuk pada hambamu yang do’if ini.

Beberapa kali istikhoroh telah ku lakukan. Telah ku pasrahkan semua pada Robb yang mengatur hidup ini. Bismillah semoga keputusanku ini maslahat.

Seminggu kemudian aku mengabarkan kepada bu Layla melalui telephone, bahwa aku mengiyakan pinangan akh Nawaf.
“Alhamdulillah, semoga keputusanmu tepat, Khansa. Akan saya kabarkan berita gembira ini pada keponakanku segera. Insya Allah akad nikahnya akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini.”
Aku terperanjat mendengar bu Layla mengucapkan “akad nikah.” Sedang aku masih berada di Saudi. Liburan akhir tahun masih menunggu sekitar tiga bulan lagi.
Lalu bu Layla menjelaskan.
“Akad nikah tetap akan dilaksanakan walau kau masih disini. Nanti cukup walimu yang hadir dan beberapa saksi dalam acara itu. Yang penting kau sudah menyetujuinya.”

Satu-satunya waliku adalah paman Hamzah yang tinggal di Jekulo Kudus.
Keluarga Nawaf dari Snori Tuban datang ke rumah pamanku menyampaikan maksud dan tujuanya.

Sebulan kemudian akad nikahku dilaksanakan di Pondok Pesantren Al Husana Tuban di kediaman akh Nawaf calon suamiku.
Akad nikah dilaksanakan tanpa kehadiranku. Selama prosesi akad nikah itu, aku, Kaltsum, bu Layla dan beberapa kerabat di hay Salamah Jeddah tempatku tinggal, menyimak prosesi itu melalui tele phone yang di loud speaker. Paman Hamzah selaku waliku sendiri yang menikahkan langsung.

Terdengar ijab qobul dari seberang.
Qobiltu..........Halan
Terdengar suara hadirin dari seberang yang mengesahkan ijab qobul itu.
Serentak yang hadir baik yang di seberang maupun yang bersamaku mengucap syukur “alhamdulillah...”
Barokallahu laka wabaroka alaika.........”

Usai sudah prosesi pernikahanku. Kini aku telah bersuami. Tidak sekedar itu, aku pun telah mempunyai seorang putri tanpa harus susah payah mengandungnya. Dua Khansa yang dilanda sepi telah dipersatukan oleh-Nya.

Terdengar suara ringing dari mobile ku.
Ku lihat di layar mobile tertulis “akh Nawaf.” Deg...baru saja melihat namanya muncul di layar mobile, jantungku berdebar.
Bismillah ku angkat telephonnya, namun aku malu untuk mendahului bicara.
“Assalamualaikum.” Terdengar suara dari seberang.
“Alaikum salam warahmatullah.” Jawabku.
“Apa kabar istriku?”
Deg...deg...jantungku semakin berdebar kencang mendengar seorang lelaki memanggilku dengan sebutan istri.
“Alhamdulillah, sa saya, saya sehat, akhi...”
Dengan terbata-bata aku menjawab pertanyaannya. Rasa canggung masih menyelimutiku. Panggilan apa yang cocok untuk suamiku? Kanda, kang mas, ataukah mas saja? Duh...begitu malunya aku, barusan aku masih menyebutnya “akhi.”
Sejenak kami terdiam dalam suasana canggung.
“Dik, dik Khansa...”
Dalem, mas.” Ku beranikan diri memanggil suamiku dengan sebutan “mas.”
“Semoga adik selalu dalam lindungan-Nya, kami sudah tak sabar menanti hadirmu, dik.”
“Do’akan Khansa, mas, semoga baik-baik saja. Begitu pun mas, semoga selalu dalam limpahan rahmat-Nya.”
“Amiin ya Robb.”
“Insya Allah satu setngah bulan lagi Khansa pulang.”
“Bunda...” terdengar suara Khansa kecil dari seberang.
“Ya, sayang.”
“Bunda cepetan pulang ya, Khansa kangen banget...Nanti ajak Khansa jalan-jalan ya...sama ayah sama bunda...” Celoteh Khansa kecil dengan polosnya.
“Insya Allah, sayang. Do’akan bunda.”

&&&

Hari-hariku kini dilanda rindu, kepada suamiku, kepada sosok Khansa yang lugu. Menanti sebulan rasanya lama sekali. Sebulan lagi aku akan menyudahi aktivitas mengajarku di Darul Ulum. Seseorang yang akan menggantikan posisiku pun telah ada.
Sebentar lagi aku akan tinggal bersama suamiku dan Khansa kecil. Semoga aku bisa menyatu dan cepat beradaptasi dengan mereka. Dengan Khansa yang telah lama menunggu hadirnya sang bunda. Serta aku yang telah lama merindu seorang pengayom yaitu lelaki yang kini telah sah menjadi suamiku.

Hari yang ku tunggu-tunggu pun telah tiba. Aku bersama bu Layla, pak Zainal dan putri bungsunya Niswah tengah mengangkasa. Sembilan jam bersama Saudi Airline. Selama perjalanan itu seakan wajah suamiku dan Khansa kecil tidak hengkang dari pelupuk mataku.
Terdengar petugas mengumumkan jika seluruh passenger harus mengenakan sabuk pengaman, karena sebentar lagi pesawat akan landing . Ku lihat keluar jendela tampak gumpalan-gumpalan asap. Tak lama kemudian tampak luasnya laut berada di bawahku. Subhanallah, antara rasa takjub dan takut bercampur menjadi satu. Bibirku tak lepas melafalkan sholawat dalam diamku.
Kini kurasakan jika roda pesawat telah benar-benar mendarat.
Alhamdulillah...ucap syukurku kepada-Nya. Indonesiaku, aku datang.

&&&

Panasnya suasana Cengkareng kini telah ku rasakan, sebelum tadi di awang-awang suhunya mencapai minus limabelas derajat celsius. Barang-barang dari bagasi telah ku temukan. Aku bersama bu Layla, pak Zainal dan Niswah menuju pintu dua, kedatangan luar negri.

Sesampainya di ambang pintu, terdengar suara anak kecil memanggil “bunda...” Ia mendekat ke arahku. Dialah Khansa. Ku cium lalu ku gendong. Namun ia meminta diturunkan dari gendonganku. Ia menarik tanganku. Didekatkannya aku pada seorang lelaki berkemeja biru muda. Dialah suamiku. Aku menyalaminya. Ku cium tangannya. Dibalasnya aku dengan kecupan kecil di keningku.

Alhamdulillah, tak henti-hentinya aku mengucap syukur. Kini aku tidak lagi sebatang kara. Aku telah menemukan orang-orang yang menanti kehadiranku.
Dua Khansa yang dilanda sepi telah dipertemukan dalam satu atap. Di bawah naungan seorang Nawaf.


-----00000-----

THE END


* Kosa Kata *

Khansain: Dua Khansa
Mukim: Tinggal
Pakaian Ihram: Dua lembar kain berwarna putih tidak berjahit (untuk laki-laki)
Jaros: Bel (bahasa Arab)
Imarah: Tempat tinggal
Tsalajah: Lemari es (Bahasa Arab)
Haromain: Dua tanah Haram (Makkah & Madinah)
Kalamullah: Firman Allah (Al-Qur'an)
Ibtida’: Tingkat dasar
Hafidzoh: Sebutan untuk perempuan yang mampu menghafal alqur’an 30 juzu’
Maslahat: Membawa kebaikan
Do’if: Lemah
Loud Speaker: Dikeraskan suaranya
Ijab Qobul: Serah terima
Mobile: Telephone celuler (hand phone)
Dalem: Sya (bahasa jawa). Sahutan yang halus jika dipanggil
Passenger: Penumpang (bahasa inggris)
Landing: Mendarat (istilah dalam penerbangan)



Al Washa Taif, 15 Jamad Awal 1431 H (29 April 2010 M).

Sunday, March 14, 2010

Balada Anak Singkong

Aku teringat akan pesan emak dulu ketika aku masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah yayasan Al-Islamiyah. Setiap kali aku berangkat sekolah, emak selalu berpesan, “nanti jika kau merasa lapar kencangkan tali sabukmu ya, Nak, emak hanya bisa membekalimu sebotol air putih. Belajar yang rajin ya nak…” “iya, Mak,” jawabku. Kucium tangan beliau lalu aku berpamitan seraya mengucapkan salam untuk berangkat sekolah
Aku keluar dari gubug itu, Gubug mungil terbuat dari bambu di atas tanah petak seluas 10x10 m2, disanalah tempatku tinggal bersama emak. Dengan langkah tegap penuh semangat aku berjalan melewati pesawahan serta ladang-ladang milik para petani. Itulah rutinitasku setiap pagi. Makan sehari sekali pun sudah merupakan nikmat buat kami, hidup ala kadarnya tidak membuatku pesimis atau pun menyesal karena tidak seperti teman-teman yang lain. Emak selalu mengajariku untuk tidak cengeng dalam kondisi apa pun. Banyak orang besar berasal dari lingkungan yang biasa saja. Bahkan rasul penghujung zaman pun kala hidupnya tidak dalam kemewahan.
Celana pendek berwarna hijau dengan baju putih itulah seragamku dulu. Terkadang tampak lusuh, jika ingin membuatnya rapi, kutempelkan baju itu pada sebuah teko/cerek yang terbuat dari alumunium berisikan air panas. Kutempel dan kutempel baju itu hingga lumayan rapi, Aku merasa senang setelahnya karena bajuku tampak sedikit rapi dari sebelumnya. Emak lah yang mengajariku cara seperti itu.
Di kelas itu aku mengenal guru pertamaku, Seorang guru yang mengajarkan kami mengenali aksara, mengejanya satu per satu dalam rangkaian kalimat sederhana. Pak Murtadlo namanya. Walau telah sepuh dengan rambutnya yang telah memutih namun ketelatenan serta kesabaran beliau mengajari kami tak pernah pudar. Dengan semangat beliau mengayuh sepeda ontanya dari kampung sebelah menyusuri jalan-jalan becek yang belum disentuh oleh adonan aspal jika musim penghujan datang.
Beliau pun mengajarkan kepada kami tentang kuasa ilahi melalui syair yang sering kami lantunkan menjelang selesai belajar, dengan kompak dipandu oleh beliau kami melantunkanya:
Man kholaqossama
Kholaqossama Allahul adzim 2x
Sopo sing gawe langit, gusti Allah sing gawe langit
Man kholaqol ardlo
Kholaqol ardlo Allahul adzim 2x
Sopo sing gawe bumi, gusti Allah sing gawe bumi.

Selesai melantunkan syair itu sang ketua memberi komando agar kami berdiri lalu mengucapkan salam, kemudian duduk kembali dengan melafalkan surat Al-ashr. Selesai melafalkan surat itu pak guru mempersilakan kami untuk pulang. Cihuy…senang rasa hati jika mendengar kata pulang, apa lagi jika hari kamis, karena hari itu adalah week end bagi kami.
&&&&&
Siang itu terik mentari lumayan membuat kelopak mataku berkerut. Kupilih jalan-jalan teduh dibawah naungan pepohonan yang berjejer sepanjang jalan itu. Perjalanan pulang usai belajar selama setengah hari tak membuatku lelah dibarengi dengan canda gurau bersama teman-teman sebayaku. Terkadang aksi jail pun muncul, aksi saling dorong dan berkejaran antara kami membuat perjalanan kami semakin asyik. Aku, Amin dan subhan masing-masing mulai berpisah dari jalan pesawahan itu.
Aku berbelok arah melewati area ladang milik ustadz Hasan. Diantara kami bertiga rumah aku lah yang paling jauh. Tampak ustadz Hasan tengah sibuk berkecimpung di ladangnya. Tanaman singkong yang hanya menunggu beberapa bulan setelah ditanam, kini tengah dipanennya.
Aku terus saja berjalan, tiba-tiba suara seseorang mengagetkanku, “Pul…”, aku pun menoleh, ternyata ustadz Hasan lah yang memanggilku. Aku pun menghampirinya.
“ya ustadz.”
“Ini kau bawa pulang,” ucap ustadz Hasan sambil menyodorkan kantong kresek berisikan singkong hasil panennya itu.
“terima kasih ustadz”
“ya sama-sama”
“ustadz, Ipul pingin nanam singkong juga seperti ustadz, gimana caranya?
“Gampang saja, tinggal kau potong-potong saja itu batangnya, lalu disimpan di tempat lembab hingga tumbuh tunasnya, lalu kau tancapkanlah batang yang telah bertunas itu di tanah, tinggal tunggu saja hingga siap di panen.”
“kalau begitu ipul mau mencoba ustadz.”
“Kau ambillah itu beberapa batangnya sana, lakukan seperti apa yang saya jelaskan tadi.”
Diambilah tiga batang singkong oleh ustadz Hasan, lalu diberikannya kepada ipul.
“Makasih banyak ustadz”
“ya…jangan lupa kau harus rajin menyiraminya”

Ustadz Hasan adalah guru ngajiku di Mushola Nurul Huda, setiap habis maghrib aku belajar ngaji bersama teman-teman disana.
&&&
Kupotong potong batang singkong itu menjadi satu ikatan, kudapatkan 15 potongan kecil-kecil sepanjang lebih-kurang 30 cm. Ku letakkan seikat potongan kayu itu dekat sumur di belakang rumah agar aku lebih dekat menyiraminya setiap pagi dan sore. Sesuai dengan pesan ustadz Hasan, aku harus rajin menyiraminya.
Setiap pagi dan sore aku mengamati potongan-potongan kayu itu sambil menyiraminya.
“Bismillahirrohmanirrohiim, pyuuuurrrrr, tunas, cepatlah kau tumbuh” gumamku dalam hati sambil mengguyurkan air pada seikat benih singkong itu.
Rupanya emak mengamati tingkahku sejak aku menemukan teman baruku seikat potongan-potongan kayu itu. Emak pun menanyakan kepadaku kenapa aku begitu asyik dengan benih singkong itu. Aku pun menceritakan pertemuanku dengan ustadz Hasan usai pulang sekolah kemarin.
“Nanti jika akar singkongnya sudah bisa diambil, emak bisa bikin aneka makanan darinya, kali aja kan bisa dijual, biar ipul yang keliling kampung menjualnya”
“Saiful, saiful, cerdas kali kau nak,”
“siapa dulu…ipuuul”
Teman baruku seikat benih singkong selalu ku tengok setiap pagi dan sore tiba. Namanya anak-anak, aku dibuatnya asik dengan penemuan baruku. Aku ingin membuktikan apa yang Ustadz Hasan tuturkan kepadaku tentang kayu-yang yang dapat menghasilkan sumber karbohidrat itu.
&&&
Seperti biasa setiap tahun diadakan acara pekan olah raga dan seni (PORSENI). Setiap sekolah mengirimkan wakilnya untuk setiap cabang Porseni itu. Biasanya siswa-siswi kelas lima dan kelas enam yang disibukkan dengan kegiatan itu.
Ketika itu aku masih duduk dibangku kelas empat. Aku ditunjuk oleh pak Faizin selaku pembimbing dalam bidang tilawatil Qur’an untuk ikut latihan bersama beberapa kandidat yang semuanya adalah kelas enam. Pak Faizin juga lah yang menjadi wali kelasku di kelas empat.

Hari jum’at adalah ajang berkumpulnya umat muslim di masjid-masjid dimana mereka tinggal. Usai sholat jum’at di masjid Baiturrahim siang itu aku bersama Subhan masih duduk di teras masjid itu.
“Saifullah”, terdengar suara pak Faizin memanggilku. Pak Faizin dengan sajadah dipundaknya mendekatiku, “nanti setelah ashar kerumah bapak ya, belajar qiro”.
Beliau yang jebolan pondok pesantren As-Shidiq Narukan Rembang itu memiliki suara merdu dan bacaan Qur’an yang fasih, aku pun mengaguminya. Terkadang sekedar intermezzo di kelas beliau ajarkan kami lantunan ayat Al-Qur’an dengan qiro’atussab’ah.
Sore itu aku dibonceng oleh subhan dengan sepedanya menuju rumah pak Faizin. Sengaja aku mengajak Subhan untuk menemaniku ke rumah Pak guru yang kira-kira berjarak satu kilo meter dari rumahku. Sesampainya di rumah pak guru, kupikir ada anak-anak lain yang akan belajar bersamaku, ternyata hanya aku seorang. Beruntung Subhan mau ku ajak, setidaknya ada teman dalam perjalananku untuk bergantian dalam menggayuh sepeda miliknya.
Dengan telaten beliau mengajariku, Ayat-demi ayat diulang-ulang agar aku benar-benar fasih melafalkan makhroj demi makhroj dan lantunannya tidak melenceng dari tajwidnya. Rupanya akulah yang dijadikan kandidat wakil dari sekolahku untuk acara Porseni itu. Usai latihan itu baru pak guru memberitahuku. Sejak hari itu setiap sehabis ashar aku ke rumah pak guru untuk latihan seminggu menjelang Musabaqoh Tilawatil Qur’an.
&&&
Subuh itu emak membangunkanku, Mengajakku berjamaah di mushola A-Musthofa dekat rumah kami. Usai sholat subuh aku tak sempat menengok tanaman singkongku, Karena usai sekolah kemarin pak Faizin berpesan jika pagi-pagi aku harus ke rumahnya. Aku dan pak guru akan pergi ke kota untuk mengikuti acara MTQ itu. Tampak emak mempersiapkan sarapan, beliau menemaniku menikmati sarapan pagi.
“Jangan lupa berdo’a, semoga tidak grogi saat tampil nanti”
“InsyaAllah mak”.

Aku telah siap dengan celana pendek berwarna hijau dan baju putih dengan peci. Aku langsung meluncur ke rumah pak guru di temani oleh Subhan. Sarung batik pemberian pakdhe hadiah sunatan itu kulipat dan kusimpan di tasku. Usai mengantarkanku Subhan pun pulang karena ia harus mengikuti pelajaran di sekolah seperti biasa.
&&&
Tampak para peserta telah siap disana. Kebanyakan pesrta mengenakan kemeja lengan panjang dan celana panjang Hanya aku sendiri yang mengenakan seragam hijau putih dan bersarung batik layaknya pengntin sunat. Amboi…aku tak tahu jika ternyata tidak harus berseragam sekolah, untungnya bawa sarung jadi kakiku yang tak mulus karena bekas koreng-koreng itu tertutupi. Walau tampak lucu dari penampilan peserta lain. “Ah cuek saja lah,” pikirku dalam hati, niatku hanya ikut meramaikan acara saja.
Undian pemilihan ayat yang akan ditampilkan pun dilakukan, aku kebagian surat Al-Anfal. Pada beberapa sisa waktu yang ada pak guru mengajariku melantunkan surat itu.
Saatnya seluruh peserta berkumpul dan menunggu giliran panggilan untuk tampil.
“Ananda Saifullah dari Madrasah ibtidaiyah Islamiyah” deg, jantungku berdegup, sedikit grogi. Spontan pak guru bertepuk tangan mensuportku, kulihat tak ada penonton lain yang bertepuk tangan kecuali beliau seorang.
“Bismillah, semoga lancar” dalam hati aku berdo’a.
Aku telah berada di panggung itu, sebelum lampu hijau menyala tanda aba-aba untuk mulai, aku dan pak guru saling bertatap, beliau lemparkan senyum kepadaku tanda support supaya aku tidak begitu grogi.
Lampu hijau pun menyala, kulantunkan surat al-anfal ayat satu sampai dengan tiga. Dengan hati-hati dan penuh konsentrasi aku melantunkanya sesuai yang diajarkan oleh pak guru kepadaku. Setiap peserta diberi waktu 15 menit untuk menampilkannya. Lampu merah pun menyala sebagai aba-aba untuk kusudahi tampilanku. Shadaqallahuladziim, Alhamdulillah aku merasa lega, pak guru pun kembali bertepuk tangan atas tampilanku itu.

Detik-detik menunggu pengumuman pemenang pun tiba. Saatnya dewan juri mengumumkan nama-nama pemenang dalam lomba itu untuk maju kedepan. Juara ketiga di raih oleh SD daerah kota kabupaten, Aku lupa siapa nama pesertanya. Juara ketiga diraih oleh SD daerah kecamatan kami, Umar namanya, karena ketika itu aku sempat duduk bareng disampingnya sebelum lomba dimulai.
Kembali pengumuman dari dewan juri.
“Juara pertama diraih oleh nomor undian 17 dari Madrasah Ibtida’iyah Islamiyah...” Aku menengok tanda pengenalku yang menempel di saku sebelah kiri bajuku. Ku lihat nomor peserta 17 tak lain adalah aku. Aku saling beradu pandang dengan Pak Guru yang duduk disampingku. Mendadak jantungku berdebar kencang. Aku sempat tak percaya jika sang juara dalam lomba itu adalah aku. Pak guru pun menyungging senyum penuh ceria sembari bertepuk tangan lalu menyuruhku untuk maju kedepan menerima penghargaan itu. Aku pun naik ke atas panggung dengan penampilan unikku, bersarung diantara mereka yang tampak ramping dan rapi.
Sebagai dokumentasi, panitia mengambil gambar seluruh peserta. Yups, tepatnya foto-foto. Yang berhasil menyabet juara berpose di depan lengkap dengan piala di tangan masing-masing. Alhasil aku yang bak pengantin sunat itu berpose di tengah sebagai pusat perhatian audiens.
&&&
Sore itu selapas lomba Qiroatil Qur’an pak guru mengantarku hingga ke rumah. Tampak emak sedang asyik menata kayu-kayu bakar di halaman rumah. Aku menyalami emak lalu ku cium tangan beliau. Pak guru melempar senyum kepada kami sebelum beliau menggayuh sepeda meninggalkan kami.
Aku tak bisa mengumpat rasa suka cita ini.
“Gimana, Pul, lombanya?”
“Alhamdulillah lancar, Mak.”
“Lancar gimana?”
“Ipul dapat juara satu, Mak.” Jawabku sembari menyodorkan amplop hadiah lomba berisikan uang tunai Rp 25000. Emak turut gembira seraya menciumi aku yang tengah sibuk melepaskan baju seragam sekolah yang kukenakan.
Kembali aku menengok benih-benih singkong yang telah bertunas itu. Pasalnya pagi tadi tidak sempat ku longok dikarenakan tugas yang ku emban mewakili sekolahku. Tampaknya benih-benih itu sudah siap tanam. Tidak menunggu lama untuk menunggu tunas-tunas itu tumbuh. Kira-kira seminggu saja asalkan rajin menyiraminya.
&&&
Lima bulan sudah aku bergelut dengan tanaman singkong di pekarangan rumah. Dalam kurun waktu itu, tidak hanya menanti buahnya saja, namun pucuk daun mudanya pun bisa digunakan sebagai lalapan yang konon mengandung zat besi. Tiba saatnya umbi akar itu siap dipanen. Satu demi satu ku dongkrak akar-akar yang telah membesar itu. Alhamduliullah setelah penantian yang cukup panjang itu akhirnya aku dapat mrnuai hasilnya.
Emak yang cukup kreatif membuat aneka makanan darinya. Salah satunya dibuat seperti mata sapi. Singkong diparut halus, diberi sedikit pewarna menggunakan daun katu biar tampak hijau warnanya. Sebagian yang lain diberi pewarna merah dari pucuk daun jati. Kedua adonan yang telah diwarnai itu dipadukan sehingga tampak menarik. Buah pisang diletakkan ditengahnya dalam balutan daun pisang. Setelah dikukus hingga masak, jadilah kue itu seperti mata sapi setelah dipotong-potong.
Sebagian yang lain dari singkong itu dicampurkan dengan ragi. Lalu didiamkan selama kurang lebih tiga hari untuk menunggu proses fermentasi. Maka jadi lah tape singkong atau biasa disebut peiyem.
Tak lupa ku sisihkan kue dari umbi akar itu kepada ustadz Hasan yang telah membekaliku bakal karbohidrat itu. Aku mencoba keliling kampung untuk menawarkan kue bikinan emak, barangkali saja ada yang berminat membelinya.
Seperti sebelumnya aku pun memilih beberapa batang pohon singkong untuk dijadikan benih. Ku tanam lalu ku tanam sehingga tidak habis begitu saja.

&&&

Friday, November 6, 2009

Zahra Dan Jilbab




Nikmatnya rehat setelah lelah meghampiri Zahra yang kini kian sibuk dengan persiapan skripsinya. Akhir-akhir ini mahasiswi Universitas Ahmad Dahlan Fakultas kesehatan masyarakat ini sibuk dalam upanya pencarian data baik dari segi literatur maupun research penunjang guna menyelesaikan tugas akhirnya setelah empat tahun menggeluti bidang itu.

Zahra yang kerap dijuluki WTS alias wanita tahan sumuk karena selalu tampil rapi dalam balutan jilbabnya yang menjulur hingga menutupi dada ini tinggal di daerah Umbul Harjo tak jauh dari area kampusnya. Zahra tinggal bersama Farah teman satu costnya yang baru menginjak semester lima, kebetulan mereka sesama mahasiswi FKM. Hari-hariny tak lepas dari bacaan Al-qur’an, setiap selesai sholat wajib ia selalu sempatkan diri untuk membaca kalamullah. Tak heran jika wajahnya tampak cerah oleh cahaya wudu yang selalu ia jaga.

*****

Siang itu hari sabtu selesai dari kegiatan dikampus Zahra berniat mengunjungi neneknya yang tinggal di kabupaten Bantul tak jauh dari tempat wisata Parangtritis. Sekedar untuk merefreh diri ketika penat menyapa sambil merenungi indahnya kuasa Ilah biasanya ia berkunjung kesana. Maklum masa kecilnya banyak ia habiskan di sana bersama saudara-saudara sepupu serta teman kecilnya, sehingga rasa kangen akan suasana laut pun terkadang muncul pada sosok gadis yang kian dewasa ini.

Sesampainya di jalan Paris tepatnya di daerah JOKTENG (Pojok Benteng) Zahra turun dari KOBUTRI lalu beralih kendaraan yang akan mengantarnya menuju rumah dimana tempat neneknya tinggal. Zahra menghampiri ELF yang berjejer paling depan menandakan bahwa kendaraan itu akan segera berjalan. Tampak ada kursi kosong disamping cewek berbaju coklat dengan kuncir rambut dikepalanya yang tengah asyik dengan buku bacaanya “GARA-GARA JILBABKU?”. Senyum kecil Zahra lontarkan kepada gadis itu tanda minta dipersilahkan untuk duduk bersamanya.

“Kelihatanya bacaanya asyik mbak?” ucap Zahra memulai percakapan. Gadis itu hanya senyum simpul menimpali ucapan Zahra.
“Buku baru ya?” lanjut Zahra. “Iya, baru saya dapat dari Gramedia kemarin” jawab gadis itu.
“Kok bukunya tentang jilbab, maaf mbaknya muslimah?”
Gadis itu hanya mengangguk sambil senyum.

Percakapan pun berlanjut antara keduanya. Gadis yang berkuncir itu menceritakan kepada Zahra bahwa ia sebenarnya ingin mengenakan jilbab namun keraguan kadang masih muncul dihatinya, alasan belum siap dan lain-lain terkadang masih hinggap dipikiranya, belum lagi masalah tidak bebas bergerak karena beberapa instansi masih ada yang mencanangkan aturan harus tidak berjilbab jika ingin bergabung dengan instansi itu.

Zahra menanggapi apa yang dituturkan gadis berkuncir itu, bahwa semuanya tergantung pada niat, jika tekad kita kuat untuk menjalankan perintah-Nya mestinya rasa ragu itu harus dibuang jauh-jauh. Jilbab adalah ciri khas muslimah agar dapat dibedakan dari wanita-wanita kafir. Apa seorang muslim mau dikatakan kafir? Tentunya dari hati kecil yang paling dalam akan mengatakan “tidak”. Nah disitulah letaknya kenapa muslimah harus dibedakan bahkan dari segi penampilan pun. Ada suatu hadits yang mengatakan bahwa “barang siapa yang mengikuti suatu golongan, maka orang tersebut termasuk golonganya”. Nah jika tidak ingin dikatakan seperti mereka (wanita-wanita kafir) tentunya cara berpakaian pun hendaknya tidak mengikuti ala mereka yang tidak mengindahkan jilbab. Lagi pula dengan berjilbab tidak akan mengurangi kecantikan seorang muslimah, bahkan tampak lebih anggun dengan berjilbab.

Obrolan yang cukup panjang telah berlanjut namun mereka lupa saling memperkenalkan diri masing-masing.

“Maaf kalau boleh saya tahu nama mbak siapa?” tanya gadis yang berkuncir itu
“Zahra”…”Namamu?” Zahra berbalik tanya kepada gadis yang berkuncir itu.
“nama saya Firdausi, biasa dipanggil Firda”
“Nama yang bagus” sanjung Zahra kepada Firda
“Saya tinggal di Jokteng, kapan-kapan mbak Zahra bisa mampir ke tempat saya”
“InsyaAllah” ucap Zahra.

Firda mahasiswi politeknik kesehatan Yogyakarta jurusan analis kesehatan kerap kali mengunjungi perpustakaan umum terdekat. Penampilanya yang selalu rapi namun belum dibalut oleh jilbab, ia masih ragu untuk menutup mahkotanya dengan kain penutup dengan alasan belum siap. Padahal ia tahu jika seharusnyalah jilbab dikenakan oleh seorang muslimah.

*****

Rumah nenek Zahra sudah semakin dekat, Zahra berpamitan kepada Firda untuk turun duluan, sedangkan Firda masih melanjutkan perjalananya menuju kampung sebelah untuk penelitian tentang kadar air laut guna melengkapi tugas kampusnya.

Sesampainya di rumah nenek tampak nenek tengah menikmati hawa sore dihalaman rumahnya yang dipenuhi oleh pepohonan melinjo disana. Sedangkan kakeknya tengah asyik memberi makan ikan-ikan lele pada kolam berukuran 2 x 3 itu.

“Assalamualaikum” sapa Zahra kepada neneknya
“Waalaikum salam warahmatullah” jawap nenek sambil menyambut cucu cantikya itu.
“piye kabarmu nduk? Mbah kangen”
“Alhamdulillah, Zahra sae mbah”

Peluk dan cium menyambut haru pertemuan itu karena cukup lama Zahra tidak menengok neneknya, persiapan tugas akhir memang cukup menyita waktu Zahra sehingga hampir tiga bulan ia tidak mengunjungi neneknya. Biasanya setiap dua minggu sekali Zahra menghabiskan week end di Bantul, alih-alih dari pada jauh pulang ke Kudus sehingga ia gunakan untuk berkunjung kepada nenek.

*****

Rupanya Firda masih terngiang-ngiang dengan kalimat-kalimat yang diucapkan Zahra sepanjang perjalanan kemarin. Pagi itu usai megunjungi perpustakaan dikampusnya Firda meluncur ke Umbul Harjo sekedar main ke tempat Zahra. UAD tampak tak jauh dari pandanganya, Firda mencoba menghubungi Zahra.

Ditdit…ditdit…Tanda ada SMS masuk di poncell Zahra, “mb’Zahra lg dmn?, sy skrg di UAD dpan pntu utama”…sender : Firda

Zahra yang tengah asyik dengan komputernya ditemani irama nasyid Raihan al-I’tiraf segera menuju pintu utama kampus UAD. Dijumpainya Firda yang tengah menunggu dirinya sambil menikmati terik mata hari siang itu.

“Assalamualaikum” sapa Zahra kepada Firda
“Waalaikum salam” jawab Firda

Kemudian Zahra mengajak Firda ke tempat Costnya. Terlihat Farah telah mempersiapkan jamuan alakadarnya untuk Firda. “adekku yang satu ini memang pengertian” Canda Zahra kepada Farah. “Iya dong…” lanjut Farah.

“Ayo diminum Firda” ucap Zahra mempersilahkan Firda.

Obrolan antara mereka pun berlanjut, suasana pukul 14.00 lumayan panas, namun nikmatnya es kelapa muda yang mengalir dikerongkongan dapat menghilangkan dahaga itu. Kembali kepada niat Firda untuk berjilbab. Terlihat keseharian Zahra dan Farah anggun dalam balutan jilbab yang menjulur menutupi dada, “sedang aku masih belum mengenakanya” gumam Firda dalam hati.

Zahra membuka lemarinya mengambil jilbab kesukaanya, diberikanya jilbab itu kepada Firda dengan senyum manis Zahra berkata “ambillah ini Firda, ini jilbab kesukaanku, semoga keraguan itu segera hilang dari benakmu dan untuk melaksanalan niat baik, hendaknya jangan di tunda-tunda”

“InsyaAllah” ucap Firda sambil menerima jilbab pemberian Zahra.

“Dengan berjilbab kamu akan tampak indah seindah namamu…Firdausi…semoga kelak kita akan dipertemukan di surga Firdaus nanti”

“Amiin” ucap Farah mengamini kata-kata Zahra

*****

Pagi Itu sekitar pukul 07.00 Zahra tengah mempersiapkan diri untuk pergi ke kampus, ketika itu Farah tidak sedang bersamanya. Tiba-tiba ia dapati benda-benda diruangan itu berjatuhan, computer pun bergeser hingga jatuh dari tempatnya. Zahra tampak bingung dengan keadaan ini, “ada apa ini?” gumamnya dalam hati. Terdengar teriakan-teriakan dari luar, dilongoknya suasana luar dari jendela, tampak terdengar teriakan “gempa…Allahuakbar…” serta teriakan-teriakan lain yang tak terdengar jelas. Seketika itu Zahra pun cepat-cepat buka pintu lalu keluar berlarian bersama orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri.

Ditengah upayanya berlari untuk menyelamatkan diri Zahra tersadar ternyata mahkotanya tidak tertutup oleh jilbab, seketika itu ia berbalik arah berlari cepat guna mengambil jilbab ditempatnya tinggal. Baru saja ia menggapai jilbabnya Zahra tak dapat lagi keluar bersama reruntuhan bangunan akibat goncangan yang dahsyat itu. Nyawanya tak dapat diselamatkan, demi mempertahankan jilbabnya Zahra rela
menyerahkan dirinya kepada yang maha kuasa.

Betapa amat sedihnya Farah ketika mendapati jenazah Zahra masih tetap dalam balutan jilbabya setelah efakuasi yang dilalukan oleh beberapa tim sukarelawan.

Seminggu setelah kejadian itu Firda berusaha menghubungi Zahra namun poncellnya tidak dapat dihubungi. Akhirnya Firda mencoba menghubungi poncell Farah, dan kabar yang amat sangat mengejutkan bagi Firda. Baru saja Firda melaksanakan niat baiknya untuk berjilbab karena tertegun dengan bahasa-bahasa yang disampaikan Zahra dalam perjalanan lalu dan dalam pertemuanya yang belum lama ini. Firda teringan akan kata-kata terakhir Zahra “semoga kelak kita akan dipertemukan di surga Firdaus nanti”.

*****

Thaif, 19 Dzulqo’dah 1430 H. Di keheningan malam ditemani nasyid Al-I’tiraf (sebuah pengakuan) oleh Raihan.

Monday, November 2, 2009

Ujung Cita Yang Bicara


Tak henti-hentinya kupandangi wajah ayu pelipur laraku. Bunda …semoga engkau damai disana, semoga engkau mendapat tempat yang mulia bersama orang-orang yang dimuliakan-Nya. Kusapu air mataku yang jatuh membasahi gambar ayu bundaku, ku dekap erat-erat bingkai itu seakan aku mendekap tubuh wangi bundaku tercinta. Ku ciumi wajah ayu itu, maafkan aku bunda, aku yang tak sempat menciummu disaat-saat terakhirmu, aku yang tak sempat melihat tubuhmu terbujur kaku.

Aku tak kuasa membendung tangisku kala ingatanku terbesit akan beliau yang ayu nan lugu. Duhai bunda, hanya do’a yang bisa kupanjatkan untukmu, semoga do’aku bisa menjadi amalan yang tak terputus untukmu. Maaafkan aku bunda, aku yang tak sempat melihatmu tersenyum manis tuk wujudkan citamu. Cita-cita kaum mislimin yang mulia untuk melaksanakan rukun islam yang kelima.

Kringgggggg…suara weker membuatku terperanjat dari lamunanku, kupandangi jarum jam telah menunjukan pukul 03.03, alarm yang telah kupasang sebelum kupejamkan mataku namun aku telah terbangun satu jam sebelum weker itu berbunyi. Mimpi itu membangunkanku dari tidur lelapku, mimpi bertemu bunda tersayang di suatu tempat yang luas serta rindang, beliau tersenyum padaku, kusalami beliau, ku peluk lalu ku cium, betapa rindu ini tak tepri ingin sekali rasanya aku berada didekatnya.

*****

Beberapa minggu sebelum kejadian itu ingatanku selalu terbesit akan wajah ayunya, lemah gemulainya, kesabaranya menjalani hidup sebagai single parent setelah kepergian suami tercintanya. Betapa telaten beliau mendidik kami, predikat janda dalam usia masih muda tidak membuatnya tergoda dengan lelaki yang beberapa kali meminangnya, dengan bahasa halus beliau tuturkan alasan untuk tidak menerima pinangan-pinangan itu. “maaf, saya menjaga amanah dari almarhum suami saya agar selalu dekat dengan anak-anak, dan saya pun ingin mendapat ridlo dari sang suami”. Itulah alasan yang selalu beliau lontarkan jika ada lelaki yang datang meminag. Aduhai bunda, halus nian tutur katamu. Walau terkadang kalimat-kalimat cemooh pun muncul mengarah pada janda muda separuh baya itu, istilah sok jaim dan lain-lain terkadang muncul dari laki-laki yang pernah meminangnya, belum lagi sebutan sebagai wanita penggoda oleh wanita yang merasa jealous kepadanya. Namun beliau tetap sabar menghaadapinya. Aku kagum akan sikap beliau yang begitu tegar, sabar dalam menghadapi cobaan. Tak salah ayahku memilih beliau sebagai istrinya. Beliau yang pernah belajar di pesantren Buya Hamka selama delapan tahun, kini kesehariannya mengisi kajian kepada ibu-ibu pengajian di surau dekat rumah kami.

Siang itu aku ke dapur, kucoba menirukan masakan ala bundaku “asam pedas” khas Sumatera barat. Wuihhh mantap memang, rasanya cukup membakar lidahku. Itulah yang kulakukan jika rindu ini muncul akan bunda, dalam menikmati hidangan itu aku senyum sendiri seakan bunda sedang ikut mencicipi masakanku sehingga sedikit kangenku terobati. “Bunda…sedang apakah kau disana? Semoga engkau baik-baik saja dan selalu dalam limpahan rahmat-Nya.”

Satu keinginan bunda yang belum terlaksana, ingin menginjakan kaki ke tanah suci. Ketika kutanya “apa keinginan bunda?” dengan polosnya beliau menjawab, “bunda ingin naik haji nak.” Mendengar jawaban beliau hatiku terenyuh, akankah aku bisa mewujudkan cita-cita mulianya?... Aduhai, sejak aku tahu betapa beliau ingin sekali menyempurnakan rukun islam, sejak itu pula aku selalu panjatkan do’a dalam setiap sujud terakhirku “ya Robb, wajibkan ibu saya haji.”

Bunda, bunda oh bunda, rasanya rindu ini semakin tak teperi, aduhai…kucoba bermain dengan tinta, ku goreskan kata-kata tentangnya.

# Siapakah dia ???

Dia yang menggendongmu selama Sembilan bulan
Dia yang melahirkanmu ke dunia
Dia yang merawatmu
Dia yang meninabobokanmu ketika kau sulit terlelap
Dia yang menghiburmu ketika kau kau menangis
Dia yang terjaga dimalam hari ketika mendengar tangismu
Dia sosok yang ayu…penuh kasih padamu

Tidak kah kau ingat ketika dia menitikan air mata karena ulahmu?
Tidakkah kau malu akan itu?
Mana wujud terima kasihmu?
Sedang surga dibawah telapak kakinya…

Lihat !!!
Lihatlah lekat lekat
Dia yang semakin hari semakin keriput
Dia yang semakin hari semakin lemah
Semakin lemah menopang tubuhnya yang kian membungkuk
Adakah kau disisihnya dikala dia tengah lemah

Duhai jiwa yang berhati…
Dimana kau saat ini?
Masihkah kau ingat akan dia???

*****

Hari ini Thaif begitu mendung semendung hatiku, entah apa yang terjadi rasanya hati ini gundah tak menentu, kucoba menghibur diri, ah mungkin ini hanya perasaan selintas saja dan semoga akan segera hilang rasa ini. Aku bersiap-siap berangkat dinas pagi bersama si ceriwis Faiq yang suka menggodaku. “Uni Rahma kok tampak lesu gitu, tidak seperti biasanya, ada apa uni?” celetuk Faiq memulai percakapan sambil menunggu bus jemputan pagi itu. “Ah tak apa kok” jawabku sekenanya. Bus jemputan pun datang membawa kami menuju arena praktek Subra street tepatnya di Children hospital. Entah hari itu perasaanku semakin galau saja, sepertinya hari itu aku tak semangat bergelut dengan tugas. Meski demikian aku harus tetap berkonsentrasi karena yang ku hadapi bukanlah benda mati melainkan makhluk hidup yang sedang dalam derita. Manusia-manusia kecil terbaring lemah menahan sakit, keadaan itu membuat para dewasa berfikir bahwa derita atau lebih tepatnya peringatan atau uji kesabaran itu tidak memandang usia. Manusia-manusia kecil yang tidak berdosa pun ditimpa derita yang cukup berat, kasihan memang. Disinilah dapat diambil pelajaran bahwa sehat adalah nikmat.

Sepulang dinas aku memutar MNC (the Indonesian chanel) melihat berita negeri tercinta disana. Gempa Sumatera Barat Pariaman, dag dig dug derrrrr, perasaanku semakin tak karuan, apakah ini ada hubunganya dengan perasaanku seharian in i?...cepat cepat ku ambil handpone dengan tangan gemetar klik kontak, kucari daftar nama bunda…nada putus ptus yang aku dapat, ku coba hubungi Farah adikku pun dengan nada yang sama tutututut. Ya Robb, ya Robb, ya Robb…berilah ketenangan pada hamba.

Hari-hari ku semakin glisah, tiga hari sudah aku tidak dapat menghubungi sanak familiku, belum ada kabar baru yang ku dapat, hanya terlihat dari layar televisi Pariamanku kini porak-poranda. Tak puas dengan berita dari MNC, kucoba cari situs-situs internet yang memuat tentang kabar itu. Pikiranku sunggu buntu, siapa lagi yang hendak aku hubungi? Saudara, kawan, semua tak dapat dihubungi, Aku hanya bisa pasrah kepada-Nya.

*****

Lima hari sudah kejadian itu berlalu, aku tengah asik bermain dengan komputerku, handponeku tertinggal di ruang Tv. Saat itu Faiq dan kawan-kawan sedang asik bersama ketoprak Humor di MNC, tiba-tiba suara Faiq mengagetkanku “uni…..ada telephon dari paman Haekal”, Aku bergegas memburu handponeku, Salam dan kabar kutanyakan kepadanya, dengan suara terbata-bata paman Haekal berbicara “Nak Rahma yang sabar ya, Ibumu telah tiada.” “Innalillahi wainnailaihi Roji’uun” Spontan aku jatuh terduduk teringat wajah bundaku serta bangunan hitam di Makkah Pusat Qiblat seluruh umat islam. Ya Robb ibuku belum sempat kesana, kenapa engkau telah menjemputnya… Isak tangis tak dapat ku bendung, seakan dunia runtuh ketika itu. Faiq dan yang lainya berusaha menenangkanku, dengan tanpa kata mereka membiarkan tangisku, membiarkan aku bersandar dibahunya, Sementara yang lain meletakkan tangganya dipundakku berusaha menenangkanku.

Keesokan harinya mataku masih tampak sembab, aku tidak dapat menyembunyikan kesedihan yang membuncah ini, kebetulan hari ini jadwalku libur, setidaknya mata sembabku ini masih bisa ku umpat dari lingkungan kerja. Menurut cerita paman Haekal ketika itu sekitar pukul lima sore bundaku baru saja selesai mengisi kajian di surau ba’da sholat ashar lalu gempa terjadi. Paman Haekal tinggal di Bukit Tinggi Alhamdulillah keluarganya selamat dari gempa itu, sedangkan beberapa saudara yang tinggal di Pariaman masih belum belum ditemukan.

Aku menceritakan kepada paman Haekal melalui telephone bahwa keinginan bunda belum terlaksana tapi sudah diniatkan, beliau telah mendaftarkan diri untuk ONH namun baru dapat kursi tahun 2010 nanti, memang untuk daerah sumatera barat ini setelah lima tahun baru dapat kursi, saking banyaknya jamaah yang berminat ke tanah suci. Aku belum sempat melihat bunda tersenyum atas cita-cita mulianya itu namun beliau telah terpanggil. Paman Haekal berusaha menjelaskan agar aku tidak kecewa atas itu, “Allah mencatat setiap kebaikan dan keburukan maka siapa yang ingin melaksanakan suatu dan tak jadi melakukanya, Allah telah mencatatnya sebagai sebuah kebaikan yang sempurna, dan jika ia ingin melakukan kemudian melaksanakanya, Allah menuliskan untuknya 10 kebaikan hingga digandakan menjadi 700 kali dan bahkan lebih banyak dari itu, dan jika ia ingin melakukan amal keburukan dan tidak jadi melaksanakanya, Allah menuliskan baginya suatu kebaikan yang sempurna, dan jika ia melakukanya Allah menuliskan satu dosa untuknya” (Muttafaq ‘alaih, dikutip dari Riyadhus Shalihin).

*****

#Thaif, Dzulqo'dah 1430 H. Dalam imajinasi menunggu waktu subuh.
(sumbangan judul oleh k'TaQ)