Monday, December 19, 2011

DILEMA

Kabur, kabur, kabuuurrrr.....barang kali itu yang ada dalam anganya. Sambil gelisah, mondar-mandir ia berfikir dalam kamarnya yang terletak di lantai dua. Dilongoknya kembali suasana rumah itu. Sepi, senyap. Tuan dan nyonya sedang menikmati week end pada kamis itu. Hanya ada seorang nenek tua yang biasa ia asuh dan adik perempuan sang tuan yang tengah terlelap di kamarnya.

Kabur, kabur, kabur......lagi-lagi kata-kata itu yang terbesit dalam angannya. Dilongoknya juga suasana di luar jendela.
“Namun bagaimana caraku keluar? Bagaimana kelanjutan kisahku jika aku keluar dari rumah ini? Kepada siapa aku menumpang pada negeri yang tertutup ini?” Gumamnya dalam hati sambil terus mondar-mandir, berharap temukan ide jernih dalam ketidaknyamanannya.

Ingatannnya pun terbesit pada situasi genting serta mendebarkan. Upaya menyelamatkan diri demi mempertahankan kehormatanya yang hampir tercabik-cabik oleh nafsu gila sang tuan yang tengah kesurupan. Ya, kesurupan syetan terkutuk menurut bahasanya.

Malam itu ia tengah rehat setelah lelah mengerjakan tugas harian seperti biasanya. Bersih-bersih, melicinkan baju, belum lagi menata perabotan yang kerap kali berantakan atas ulah anak nakal usia tujuh tahun yang terkena retradasi mental. Memang kebiasaan orang rumah hanya tidur, makan, main. Seperti itulah kebiasaan mereka, seakan tak mengenal ilmu tata graha. Hanya menata diri dan berpoles ria yang mereka tahu. Itu pun pergi ke salon untuk memolesnya jika ada acara pesta kumpul-kumpul bersama kerabat.

ketika itu sang nyonya tengah menghadiri acara walimatul ursy, berpesta ria dengan gaun yang tetah disiapkan bberapa bulan sebelumnya untuk menghadiri acara itu. Acaranya dilaksanakan pada hotel berbintang. Biasanya hingga larut malam pesta itu berlangsung, bisa selelesai sekitar 03.00 dini hari. Mungkin itu dijadikan aji mumpung juga bagi perempuan-perempuan saudi yang biasa dikurung di rumah, kurang sosialisasi dengan tetangga. Memang bisa dibilang tidak mengenal tetangga sama sekali, kecuali kerabat dan hanya bertemu pada acara-acara tertentu. Ya ajang itu dijadikan ajang bersuka ria, berdandan secantik mungkin dengan gaun yang anggun menurut mereka. Dibalik abaya yang tertutup rapat mereka tampak anggun, walau tak jarang yang memaksakan diri dengan body full fat dalam balutan gaun super seksi sehingga tampak seperti kue lepet. Berdansa serta makan-makan, hidangan adalah hal yang tak ketingalan dalam momen kumpul-kumpul, mungkin salah satunya ngerumpi adalah hal yang tak ketinggalan juga dalam acara temu kerabat itu.

Sementara ia yang tengah menikmati rehat dalam renung teringat akan sanak famili nun jauh di seberang sana. Anak semata wayangnya ia tinggalkan. Dengan dalih ingin berjuang demi masa depan anak, ia rela berpisah sementara dengan putri semata wayangnya yang ia titipkan pada orang tuanya yang tak lagi muda. Apa boleh buat, hidup adalah pilihan. Memang perempuan tak boleh bepergian jauh tanpa mahram, namun jika kondisi yang memaksakan dirinya dalam pilihan seperti itu, siapa yang dapat mencegah? Kepada siapa ia minta tolong jika tidak dirinya sendiri yang berusaha. Hanya pertolongan tuhan yang ia harap pada nasib yang harus ia jalani. Sang suami tercinta telah lama menghilang tanpa kabar. Pada kecelakaan kapal dua tahun yang lalu sebelum ia memutuskan untuk beradu nasib ke negeri seberang. Jasadnya saja tak pernah ia jumpai, hidup atau mati pun ia tidak tahu. Hanya tuhan yang tahu keberadaan suami tercintany. Seandainya memang telah berada pada kehidupan berikutnya, doanya semoga ayah dari putrinya itu mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya.

Toktoktok...terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar kamarnya. “Siapa?” Pikirnya dalam hati. “Bukanya tuan dan nyonya sekeluarga sedang ada acara?” Ia pun diam sejenak tidak menghiraukan suara yang bersumber dari luar kamarnya itu.

Toktoktok....toktoktok...terdengar lagi suara itu. “Iftah al baab ya Sarah...” terdengar suara dari luar, tidak begitu keras, hanya bisa terdengar dalam suasana hening. Seperti suara laki-laki. Pikirnya selama ia tinggal di rumah itu hanya suara perempuan lah yang selalu terdengar di lingkungan kamarnya.
Sarah pun masih diam. Allah siapa kah orang itu? Ia pun membukakan pintu.
“Tuan, bukannya Tuan sedang ada acara keluarga?”
“Iya, saya pulang duluan, biar saja, masih ada Basim yang akan mengantar mamanya pulang. Saya agak letih makanya pulang duluan.”
“Ooh, lau ada perlu apa Tuan memanggil saya?”
“Saya mau minta tolong buatkan qahwa”
“Baiklah, Tuan, akan saya buatkan.”

Ia pun melangkah ke dapur membuatkan pesanan sang tuan. Tak lama kemudian ia mengantarkan kepada tuanya qahwa dengan aroma khas segar menghampiri indra penciuman. Seperti aroma jahe, namun tak ada rasa jahe jika diminum. Minuman itu cocok dipasangkan dengan makanan manis seperti coklat atau kurma. “Heran, tak biasanya tuan malam-malam minta dibuatkan kopi khas arab itu. Karena kopi arab itu biasa dinikmati dipagi hari ketika keluarga kumpul bersama menikmati sarapan.” Pikirnya dalam hati. “Ah mungkin tuan sedang tidak enak badan.” Karena menurut sugesti mereka pun kopi arab bisa mengurangi sakit perut.

Ia kembali ke kamar, melanjutkan niatnya menikmati rehat setelah lelah. Tanpa sepengetahuannya sang tuan membuntutinya. Tiba-terdengar suara pintu terbuka tanpa bunyi ketuk pintu atau suara orang memanggil. Memang ia tadi belum sempat mengunci pintu kamarnya.
“Tuan, ada perlu apa tuan mengikuti saya?”
Tanpa jawab, hanya dengan caranya menatap sarah paham jika kondisi saat itu tidak bersahabat. Sarah mundur ketakuatan, berusaha menjauhi pemandangan yang menakutkan itu. Ia pun berusaha menghindar. Menghindar dan menghindar. “Hasbiyallah, Haram alaik..” serunya meredam ketakutan. Namun ucapanya itu tak dihiraukan oleh orang yang tengah kesurupan setan yang terkutuk itu. Lelaki itu semakin mendekat. Ia selalu berusaha menghindar, dan lari keluar dari kamar. Apa lah daya seorang perempuan kurus dibanding dengan tubuh gendut yang mengejarnya itu. Lelaki gendut itu pun dapat menggapai perempuan kurus yang dikejarnya itu. Namun ia hanya menggapai baju pada bagian pundak perempuan kurus itu, sehingga robeklah baju karena si perempuan terus berusaha menyelamatkan diri dalam lingkup rumah itu.

Ketika tiba pada suasana yang menegangkan, bagai kucing hendak melahap ikan asin di depanya. Tiba-tiba terdengar suara bel dari luar....tingtongtingtongtingtong....tampaknya si Basim memainkan bunyi bel itu. Terdengar suara basim putra sulungnya yang berusia sekitar 17 tahun serta nyonya dan lain-lain telah pulang dari acara pesta itu. Sarah pun segera membetulkan kerudungnya dan membetulkan bajunya serta menutupi bagian yang robek itu. Ia segera bergegas menuju pintu utama menyambut nyonya dan lainya.

Alhamdulillah.... ucap syukurnya. “Terimakasih ya Robb Kau telah selamatkan hamba dari aksi gila itu. Selamatkan hamba dari hal-hal keji seperti tadi ya Robb. Hamba berlindung kepada-Mua ya Robb. Kepada siapa lagi hamba berlindung jika tidak kepada-Mu.” Sujud syukur pun ia lakukan setelah selamat dari mara bahaya itu.

&&&

Sejak peristiwa itu rasanya ia tidak lagi nyaman berada di lingkungan itu. Apa lagi jika suasana rumah tengah sepi. Perasaan waswas selalu meliputi dirinya. Sang tuan yang katanya seorang polisi yang seharusnya menegakkan hukum tak ubahnya seperti binatang jalang yang tak tahu adab. Ia yang baru saja tiga bulan tinggal di lingkunga itu rasanya telah benar-benar tidak nyaman.

Peristiwa serupa pun terulang lagi dua minggu kemudian. Sepertinya lelaki itu begitu marah karena aksi yang lalu telah gagal. Lagi-lagi sang nyonya sedang keluar rumah. Mungkin sedang shoping atau sekedar jalan-jalan saja. Biasanya memang seperti itu, jika Nyonya ada keperuan maka tuan lah yang mengantarkan, lalu jika keperlunya sudah selesai barulah nyonya menelpon tuan minta dijemput. Tak ada supir pribadi di rumah itu.

Kali itu, baru saja lelaki tak beradab itu mendekatinya, tiba-tiba hand phone bersumber dari sakunya berdering. Ternyata bunyi telephone itu dari nyonya yang minta dijemput karena keperluanya telah selesai. Tak biasanya pula nyonya keluar secepat itu. Baru keluar sekitar tiga puluh menit sudah minta dijemput. “Allah kareem...Syukron ya Robb, Engkau telah menyelamatkan hamba dari perbuatan bejad itu.” Ucap syukurnya sembari bernafas lega.

Ruppanya tidak ada kapoknya juga lelaki tak beradab itu berusaha menggangu perempuan kurus dibandingkan dengan istrinya itu. Entah apa yang ada dalam otak tidak warasnya itu. Padahal telah mempunyai yang halal namun masih serakah. Layaknya seseorang yang buta hukum. Tidak malu dengan jabatan yang diembanya. Atau hanya sekedar seragam biar terlihat keren saja. Ghairu adab, mungkin itu sebutan yang cocok untuk manusia dengan tingkah seperti binatang.

Terakhir, peristiwa tidak menyenangkan itu terulang siang kemarin. Pada terik matahari di atas kepala. Namun sang Maha pelindung masih melindungi perempuan kurus berkulit putih itu. Ya, ketika itu menjelang waktu dzuhur. Memang jika syetan telah merasup, tak lagi peduli dengan waktu atau pun tempat untuk melampiaskan hal buruk lagi terkutuk. Siang itu ia tengah asyik membereskan dapur setelah selesai memasak. Tanpa sepengetahuanya lelaki buruk hati itu tengah mengintai di belakangnya. Ia terperanjat ketika membalikkan badan menjumpai pemandangan yang membuatnya tidak betah. Melihat terkelebat bajunya saja tidak sudi, dan kali itu rupa buruk orang yang membuatnya trauma itu telah benar-benar di depannya. Ia pun kaget dibuatnya, sehingga cerek yang ia pegang pun terjatuh.

Prraaaaakkkkk....ia tarik mundur langkahnya. Mundur dan mundur. Ketika tak ada lagi ruang untuk memberinya kesempatan berjalan mundur karena telah mentok pada sebuah dinding, langkahnya pun terhenti. “kemana lagi aku kan menghindar?” Ia terjebak dalam kondisi genting. Ketika ia hendak melangkah ke samping dengan suasana hati yang tergopoh-gopoh, entah dengan cara apa lagi menghindarinya. Tiba-tiba suara Adzan berkumandang. Ya, telah masuk wahtu dzuhur. Tak lama kemudian suara nenek tua yang cempreng pun terdengar memanggil namanya. Biasa jika waktu sholat tiba ia minta ditemani untuk mengambil air wudu dengan kursi rodanya.Ketiga kalinya ia pun selamat dari aksi bejad sang tuan.
&&&

Sepertinya kondisi itu sudah tak dapat ia tolerir lagi. Bagaimanapun caranya ia ingin lepas dari segala ketidaknyamanannya itu. Barangkali itu yang terbesit dalam benaknya. Siang itu kondisi rumah telah benar-benar sepi. Semua penghuni rumah tengah menikmati liburan akhir pekan. Sengaja ia menolak ketika diajak. Tepatnnya sekitar pukul 14.30 ia sendiri di kamar itu. Tak lupa pintu kamar ia kunci rapat-rapat. Lagi-lagi ia menengok keluar jendela. “Bagaimana aku turun dari jendela setinggi ini?” Pikirnya dalam hati. Namun ia pikir-pikir lagi, barang kali ini waktu yang tepat untuknya. Ya, waktu yang tepat untuk terlepas dari segala ketidaknyamananya.

Loncat dari jendela itulah cara satu-satunya. Tanpa memikirkan seperti apa sakitnya jatuh dari tembok dengan tinggi sekitar tujuh meter saja. Begitulah niatnya untuk menyelamatkan diri, bukan bunuh diri. Pikirnya ia masih punya iman untuk tidak mengakhiri hidupnya dengan jalan yang tidak diridloi oleh-Nya. Sekali lagi ditegaskan dalam niatnya, bahwa usahanya adalah untuk menyelamatka diri. Bukan bunuh diri. Ada pun nanti dalam upaya menyelamkan dirinya itu lalu Allah mencabut nyawanya, itu sama sekali diluar niatnya. Begitu ia menguatkan tekad.

Dibawanya tas ukuran sedang dengan sedikit baju dan buku telephone yang dianggapnya penting. Handphone saja ia belum punya. Uang, tak terbesit sama sekali dibenaknya untuk membawa uang, karena memang belum mendapat gaji selama tiga bulan itu.

Bismillah, dengan abaya dan kerudung sekenanya. Tak sempat ia kenakan tutup wajah, hanya dimasukkannya dalam tas. Loncat, dan ia pun benar-benar loncat...Gedebug...kira-kira seperti itu bunyinya. Antara sadar dan tidak sadar. Pelan-pelan ia pun membuka mata, karena tadi sebelum loncat ia menutup kelopak matanya. Membuka mata sambil menahan sakit dan lecet-lecet dikakinya. Ia pun melihat sekitar, ia raba jantungnya ternyata masih berdegup. Ia sadar ternyata dirinya masih berada di dunia. Tak terpikir lagi istilah keseleo atau pun patah tulang atas apa yang telah ia lakukan. Yang ada dalam benaknya adalah ingin segera menjauh dari lingkungan itu.

Ia pun melangkah menjauhi gedung itu. Menjauh lalu menjau. Entah jalan mana yang ia lalui ia tak paham. Berusaha melangkah agar tidak mencurigakan. Kali itu ia telah benar-benar jauh dari rumah yang membuatnya trauma itu. Jauh, jauh dan jauh, entah telah berapa ratus meter ia berjalan kaki. Tak sempat lagi ia memikirkan sejauh mana langkahnya.

Dijumpainya area ramai, segerombolan orang keluar dari bis berseragam putih-putih. Mereka terlihat fresh karena baru saja datang untuk memulai tugas sore. Sepertinya wajah-wajah asia tenggara dan india, pikirnya dalam hati. Sebagian berbelok ke toko, sebagian langsung masuk ke sebuah gedung. Mungkin itu rumah sakit, pikirnya pula. Namun ia mebelokan langkahnya menuju toko itu. “Barang kali ada yang bisa saya tanya disana.” Pikirnya. Ia menghampiri seseorang yang yang berwajah asia. “Mungkin saja mengerti bahasaku.” Pikirnya lagi. Ketika ia bertanya ternyata bahasanya tidak nyambung. Mereka yang berseragam putih-putih itu menggunakan bahasa tagalog, sedangkan dirinya menggunakan bahasa indonesia.

Rupanya seseorang yang berbhasa tagalog itu dapat membaca kepanikannya. Dengan bahasa isyarat si tagalog itu mengajak wanita itu untuk mengikuti dirinya menuju rumah sakit. Kebetulan ketika itu adalah jam berkunjung keluarga kepada pasien, sehingga banyak pendatang berseliweran disana. Alhasil masuklah siperempuan itu mengikuti si tagalog. Lalu dipertemukannya perempuan itu pada seorang perawat yang bahasanya sama dengan wanita itu.
“Lita...come here!” Panggil Weena si tagalog itu. Lita pun mendekati Weena.
Terlihat disana seorang wanita dengan wajah gelisahnya. Lita tak paham apa maksud Weena memanggil dirinya.
“Lita, can you talk with her, maybe you can understand her language” Jelas Weena.
“Mbak...tolong saya...” Wanita itu merajuk minta tolong sambil berurai air mata.
“Kenapa. Mbak?” Tanya Lita kepada Wanita itu.

Lalu wanita itu menceritakan alur perjalanannya hingga akhirnya ia sampai ke Rumah sakit itu. Lita yang hanya bergelut dengan dunia asrama dan area kerjanya seperti kebingungan harus dengan cara apa ia menolong dalam kondisi yang tak leluasa itu. Ia pun Tak begitu paham dengan lingkungan luar. Sementara melihat wanita itu ia benar-benar tidak tega.

Lita akhirnya menghubungi rekannya yang sedang bertugas di lantai tiga. Barangkali rekannya itu bisa menghubungi seseorang yang paham dengan hal-hal seperti itu. Keduanya berdiskusi sambil diliputi rasa panik karena kasiahan melihat Sarah dalam kegelisahanya. Ilegal telah menjadi pilihan Sarah pada negara tertutup yang menganut hukum ketat.

Lita mencoba menghubungi temanya yang tinggal diluar barangkali bisa membantu. Namun apa yang ia dapat? Dalam kondisi terdesak itu seseorang yang katanya bisa menolong meminta imbalan dari Sarah yang benar-benar minta perlindungan. Gila, pikirnya. Sama bangsa sendiri saja segitunya. Sudah keluar dari sarang harimau saja sudah untung bagi Sarah, malah meminta imbalan pada korban yang tidak punya apa-apa. Benar-benar tak punya jiwa belas kasihan sama sekali. Karena kali itu Lita tidak membawa bekal. Dirinya mana tahu jika bakal ada seseorang yang datang minta tolong.

Datanglah Icha yang bertugas di lantai tiga. Membawa kabar jika ada seseorang yang bersedia menolong wanita itu.

Alhamdulillah ketiganya merasa lega. Namun ia masih harus menunggu beberapa saat. Menanti pak Habib yang bersedia menjemputnya.

Sarah hanya bisa pasrah dalam kondisi semacam itu. Berharap Allah akan mempertemukannya dengan orang baik yang berjiwa ikhlas. Si tagalong Weena pun berinisiatif mengumpulkan uang dengan teman-temannya untuk diberikan kepada Sarah. Weena adalah seorang nasrani berkebangsaan philipna. Tidak banyak yang ia kumpulkan hanya 25 SR saja. Karena ketika itu Lita tidak membawa bekal, ia meminta tolong kepada Egyptian bernama Ameera. Berharap ia bersedia meminjamkan uangnya untuk Sarah. Lita berniat mengembalikannya setelah sampai di sakan nanti. Tanpa berfikir panjang Egyptian berparas ayu itu langsung mengeluarkan isi dompetnya sebanyak 150 SR dan memberikannya kepada Lita.

Icha pun kembali mengampiri Lita yang sedang bersama Sarah. Ia mengabarkan bahwa Pak Habib telah siap dengan mobilnya di depan Pintu Tawari. Dengan berhati-hati Lita dan Icha mengantar Sarah menemui Pak Habib. Hanya berbekal 175 SR sarah pun ikut bersama Pak Habib, beradu nasib dengan harapan ditempat baru itu akan lebih baik dari sebelumnya. Walau ia tahu bahwa kondisinya telah menjadi ilegal.

Sesampainya di sakan pun Lita menjumpai Ameera. Ia tidak lupa bahwa siang tadi ia meminjamkan uang untuk seseorang yang tengah dilanda kesulitan. Ia bermaksud mengembalikan sejumlah uang itu. Namun diluar dugaan, Egyptian itu nyaris menolak pemberian Lita. Ia berdalih jika maksudnya adalah menolong. Namun Lita merajuk agar Ameera mau menerima uang pemberianya, karena maksudnya tadi adalah meminjam. Akhirnya keduanya mengambil jalan tengah, Ameera mau menerima 100 SR dari Lita, dan selebihnya adalah untuk Sarah yang tengah dalam kesulitan.

MasyaAllah, dalam kondisi semacam itu ternyata masih ada bangsa lain yang lebih care. Si tagalong Weena dan Ameera Egyptian. Lita jadi teringat kepada orang pertama yang dimintai tolong namun dengan terang-terangan meminta imbalan. Seakan memanfaatkan kondisi genting sebagai bisnis. Sungguh tak berhati menurutnya.

@@@@@

---Teringat akan seseorang yang datang dengan air mata yang belum sempat ku Tanya siapa namanya---

No comments:

Post a Comment