Monday, December 19, 2011

MALAIKAT KECIL BABA





Pagi itu ku lihat baba telah siap dengan pakaian gerilyanya. Baba tampak fresh lengkap dengan senapan yang dikalungkannya. Aku melihanya lekat-lekat. Aku tersenyum melihat baba. Baba memang tergabung dalam angkatan bersenjata sebagai pembela alAqsho. Aku bangga mempunyai baba seorang pemberani. Tak gentar dengan serangan yahudi yang lengkap dengan persenjataan mereka.
Aku yang baru berusia 6 tahun kerap kali diajari bagaimana cara memegang senapan. Jiwa pemberani telah ditanamkan kepadaku sejak dini. Aku pun banyak belajar dari baba tentang itu.

“Misy’al, kau harus jadi muslim sejati, Nak...dimana jika kau tinggal dalam suatu wilayah, lalu wilayahmu sedang dalam bahaya, kau jangan lari tuk menghindarinya. Jangan jadi pengecut!” Tegas baba.

“ Kau harus bertekad kuat membela negerimu. Apa lagi musuh yang menyerang kita adalah tentara kafir. Jangan takut dan jangan takut! Allah bersama kita.” Lanjutnya lagi.
Aku menyimpan kalimat-kalimat baba dalam memoriku.

Terlihat mama membawakan hidangan secangkir teh susu dengan sepotong roti serta biji-biji zaitun dalam wadah kecil untuk sarapa baba. Aku dan mama menyaksikan baba menikmati hidangan itu. Sseperti itulah kebiasaan mama jika baba harus berangkat pagi-pagi. Aku, mama dan adikku akan menyantap srapan agak siangan.

Usai sarapan, baba berpamitan. “Jaga Fatiya adikmu, jangan jauh-jauh dari mama. Jangan lupa kau bantu-bantu mama.” Ujar baba kepadaku. Aku pun mengangguk, Lalu ku cium tangan beliau sebelum beliau berangkat. Tak ketinggalan baba pun berpamitan kepada mama, dikecupnya kening mama. “Robbana ma’ak ”, ucap mama mendo’akan baba.

Baba pun melangkah keluar dengan langkah gagahnya penuh keberanian. Usai melepas keberangkatan baba ba’da subuh itu, kami pun kembali melanjutkan aktifitas seperti biasa. Aku membantu mama membersihkan rumah. Rumah kami sederhana saja. Hanya ada satu kamar lalu dapur bersamaan dengan kamar mandi dan satu lagi ruang serba guna, serba guna untuk ruang keluarga ataupun untuk makan bersama. Di ruang itu pula terdapat dipan kecil ukuran 1x2 meter untuk tempat tidurku.
Aku membangunkan adik perempuanku yang masih terlelap lalu membantunya membersihkan badan. Fatiya tidak sempat melihat baba berangkat karena tadi ia masih terlelap.

&&&

Hari semakin siang. Mata hari pun semakin naik mamancarkan sinarnya menghangatkan tubuh setiap penduduk bumi. Aku sama sekali tak melihat wajah mama cemas atau pun takut dalam kondisi itu. Kulihat wajahnya tenang, tampak bibirnya tak lepas menyebut asmaNya. Hanya do’a yang bisa kami panjatkan untuk baba yang tengah berjuang, semoga selalu dalam lindunganNya.

“Jangan takut mati karena perang.” Itulah kalimat yang selalu mama tanamkan. Mati bisa terjadi kapan saja jika Allah berkehendak. Bahkan sedang tidur terlelap pun jika Allah berkehendak maka ia tak akan bangun untuk selamanya.

“Perjuangan baba adalah jihad, Nak. Jihad fi sabilillah insyaAllah. Kalau pun baba meningggal insyaAllah syahid.”
“mama sudah siap seandainya baba tidak pulang untuk selamanya?”
Dijawabnya pertanyaanku dengan senyum mengembang.
“Cepat atau lambat kita pun akan kembali kepadaNya.” Ucap mama menimpali pertanyaanku.

&&&

BBUUMMM.....BUUMMMM...BUUMMM....

Terdengar suara ledakan bom di luar sana. Kulihat suasana luar, asap tebal mengalun. Percikan-percikan debunya pun sampai ke sekitar tempat tinggal kami.

BUMMMM.... Lagi-lagi suara itu terdengar. Seakan sudah tak asing lagi bagi kami bunyi-bunyian semacam itu. Ingin Rasanya aku ikut berada di medan itu. Bukanya takut namun semangatku kian berkobar ingin ikut membasmi pasukan kafir tak berperasaan itu. Yahudi memang keji dan patut dimusuhi. Namun aku ingat pesanan baba agar aku tak jauh-jauh dari mama. Kelak jika usiaku remaja, aku pun akan meminta izin kepada baba dan mama agar aku diperbolehkan berjuang bersama bala tentara Allah.

Hari pun semakin gelap. Aku, mama dan fatiya berkumpul di ruang serba guna. Tepatnya kami duduk bertiga pada dipan tempat tidurku. Baba belum juga pulang. Ingin ku bertanya kepada mama tentang keberadaan baba namun ku urungkan. Aku sudah tahu jawaban apa yang akan mama lontarkan. Kulihat adik kecilku yang berbeda usia setahun dariku telah terlelap di pangkuan mama.

“Allah...lindungilah baba jika memang baba masih berada di dunia ini. Jika memang baba telah berada di kehidupan selanjutnya, berilah tempat yang mulia baginya, ya Robb.” Hanya itu do’a yang bisa kupanjatkan dalam suasana menegangkan seperti sekarang ini.

Hingga Fajr tiba, sosok baba belum juga hadir di rumah kami. Usai sholat Fajr kupanjatkan do’a untuk baba. Kuihat mama masih asyik dalam sujud panjangnya memohon kepada Dzat yang maha satu sambil berurai air mata. Ya, aku memang mengamati mama pada sujud terakhirnya sebelum salam. Kenapa lama sekali mama sujud, batinku.

Kali itu Fatiya ikut bangun bersama kami pada waktu fajr. Aku dan mama memulai hari dengan tilawatil Qur’an seusai sholat. Fatiya hanya duduk diam mendengarka bacaan Qur,an kami. Hari itu adalah hari Jum’at, hari liburku dari belajar di madrasah.
Kulihat adikku tampak cantik hari itu. Tampak lebih cerah dari biasanya. Rambut pirang dengan kulit putih, serta bibir merahnya mengembangkan senyum kepadaku.

“Akhuya , Fatiya belum lihat baba sejak kemarin...”

Aku terdiam mendengar kalimat yang dilontarkan oleh adik mungilku. Adikku terus saja menebar senyum termanisnya kepadaku dan mama. Kutinggalkan Fatiya di ruangan itu. Aku menghampiri mama yang tengah menyiapkan sarapan di dapur. Pagi itu kira-kira sekitar pukul 08.00, suasanya begitu cerah. Walau dalam hati kami harap-harap cemas menanti kahadiran baba.

“Babaaaaa....................................................................................”

Terdengar suara Fatiya memanggil baba. Aku dan mama segera berlarian menuju pintu depan ingin menyambut kehadiran baba setelah harap-harap cemas sejak kemarin pagi. Namun kulihat Fatiya tidak langsung menubruk baba. Ia berlari lalu membelakangi baba.
Tiba-tiba,

DORRR....DORRR.....DORRR

Tubuh mungil Fatiya berlumuran darah diberondong peluru. Rupanya Fatiya melihat ada seseorang mengintai baba siap dengan senjatanya.
“Fatiyaaaa…..” Aku, mama dan baba berteriak histeris.
Kami terperanjat melihat peristiwa yang tak terbayangkan itu. Kulihat tentara yahudi segera lari meninggalkan area setelah memuntahkan peluru dari senapannya pada tubuh mungil adikku. Ingin rasanya ku kejar, namun mendadak langkah kakiku berat karena diliputi rasa iba yang sangat terhadap derita sikecil Fatiya.

Seketika itu dibopongnya tubuh mungil Fatiya yang berlumuruan darah oleh baba. Fatiya adik mungilku yang cantik adalah malaikat kecil kami untuk baba. Selamat jalan, Sayang. Engkau telah dijemput olehNya, berjejer bersama bala tenteraNya yang Syahid.

&&&


# Elwasha Taif, 23 Rajab 1431 H (5 Juli 2010)
Pagi yang cerah, dalam libur mengorek inspirasi yang terkubur. Bersama a song for palestin “We Will not Go Down”


*Catatan kaki
Robbana ma’ak : Tuhan kita bersamamu
Dipan : Tempat tidur yang terbuat dari kayu
Fajr : Subuh
Akhuya : Kakak laki-laki

DILEMA

Kabur, kabur, kabuuurrrr.....barang kali itu yang ada dalam anganya. Sambil gelisah, mondar-mandir ia berfikir dalam kamarnya yang terletak di lantai dua. Dilongoknya kembali suasana rumah itu. Sepi, senyap. Tuan dan nyonya sedang menikmati week end pada kamis itu. Hanya ada seorang nenek tua yang biasa ia asuh dan adik perempuan sang tuan yang tengah terlelap di kamarnya.

Kabur, kabur, kabur......lagi-lagi kata-kata itu yang terbesit dalam angannya. Dilongoknya juga suasana di luar jendela.
“Namun bagaimana caraku keluar? Bagaimana kelanjutan kisahku jika aku keluar dari rumah ini? Kepada siapa aku menumpang pada negeri yang tertutup ini?” Gumamnya dalam hati sambil terus mondar-mandir, berharap temukan ide jernih dalam ketidaknyamanannya.

Ingatannnya pun terbesit pada situasi genting serta mendebarkan. Upaya menyelamatkan diri demi mempertahankan kehormatanya yang hampir tercabik-cabik oleh nafsu gila sang tuan yang tengah kesurupan. Ya, kesurupan syetan terkutuk menurut bahasanya.

Malam itu ia tengah rehat setelah lelah mengerjakan tugas harian seperti biasanya. Bersih-bersih, melicinkan baju, belum lagi menata perabotan yang kerap kali berantakan atas ulah anak nakal usia tujuh tahun yang terkena retradasi mental. Memang kebiasaan orang rumah hanya tidur, makan, main. Seperti itulah kebiasaan mereka, seakan tak mengenal ilmu tata graha. Hanya menata diri dan berpoles ria yang mereka tahu. Itu pun pergi ke salon untuk memolesnya jika ada acara pesta kumpul-kumpul bersama kerabat.

ketika itu sang nyonya tengah menghadiri acara walimatul ursy, berpesta ria dengan gaun yang tetah disiapkan bberapa bulan sebelumnya untuk menghadiri acara itu. Acaranya dilaksanakan pada hotel berbintang. Biasanya hingga larut malam pesta itu berlangsung, bisa selelesai sekitar 03.00 dini hari. Mungkin itu dijadikan aji mumpung juga bagi perempuan-perempuan saudi yang biasa dikurung di rumah, kurang sosialisasi dengan tetangga. Memang bisa dibilang tidak mengenal tetangga sama sekali, kecuali kerabat dan hanya bertemu pada acara-acara tertentu. Ya ajang itu dijadikan ajang bersuka ria, berdandan secantik mungkin dengan gaun yang anggun menurut mereka. Dibalik abaya yang tertutup rapat mereka tampak anggun, walau tak jarang yang memaksakan diri dengan body full fat dalam balutan gaun super seksi sehingga tampak seperti kue lepet. Berdansa serta makan-makan, hidangan adalah hal yang tak ketingalan dalam momen kumpul-kumpul, mungkin salah satunya ngerumpi adalah hal yang tak ketinggalan juga dalam acara temu kerabat itu.

Sementara ia yang tengah menikmati rehat dalam renung teringat akan sanak famili nun jauh di seberang sana. Anak semata wayangnya ia tinggalkan. Dengan dalih ingin berjuang demi masa depan anak, ia rela berpisah sementara dengan putri semata wayangnya yang ia titipkan pada orang tuanya yang tak lagi muda. Apa boleh buat, hidup adalah pilihan. Memang perempuan tak boleh bepergian jauh tanpa mahram, namun jika kondisi yang memaksakan dirinya dalam pilihan seperti itu, siapa yang dapat mencegah? Kepada siapa ia minta tolong jika tidak dirinya sendiri yang berusaha. Hanya pertolongan tuhan yang ia harap pada nasib yang harus ia jalani. Sang suami tercinta telah lama menghilang tanpa kabar. Pada kecelakaan kapal dua tahun yang lalu sebelum ia memutuskan untuk beradu nasib ke negeri seberang. Jasadnya saja tak pernah ia jumpai, hidup atau mati pun ia tidak tahu. Hanya tuhan yang tahu keberadaan suami tercintany. Seandainya memang telah berada pada kehidupan berikutnya, doanya semoga ayah dari putrinya itu mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya.

Toktoktok...terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar kamarnya. “Siapa?” Pikirnya dalam hati. “Bukanya tuan dan nyonya sekeluarga sedang ada acara?” Ia pun diam sejenak tidak menghiraukan suara yang bersumber dari luar kamarnya itu.

Toktoktok....toktoktok...terdengar lagi suara itu. “Iftah al baab ya Sarah...” terdengar suara dari luar, tidak begitu keras, hanya bisa terdengar dalam suasana hening. Seperti suara laki-laki. Pikirnya selama ia tinggal di rumah itu hanya suara perempuan lah yang selalu terdengar di lingkungan kamarnya.
Sarah pun masih diam. Allah siapa kah orang itu? Ia pun membukakan pintu.
“Tuan, bukannya Tuan sedang ada acara keluarga?”
“Iya, saya pulang duluan, biar saja, masih ada Basim yang akan mengantar mamanya pulang. Saya agak letih makanya pulang duluan.”
“Ooh, lau ada perlu apa Tuan memanggil saya?”
“Saya mau minta tolong buatkan qahwa”
“Baiklah, Tuan, akan saya buatkan.”

Ia pun melangkah ke dapur membuatkan pesanan sang tuan. Tak lama kemudian ia mengantarkan kepada tuanya qahwa dengan aroma khas segar menghampiri indra penciuman. Seperti aroma jahe, namun tak ada rasa jahe jika diminum. Minuman itu cocok dipasangkan dengan makanan manis seperti coklat atau kurma. “Heran, tak biasanya tuan malam-malam minta dibuatkan kopi khas arab itu. Karena kopi arab itu biasa dinikmati dipagi hari ketika keluarga kumpul bersama menikmati sarapan.” Pikirnya dalam hati. “Ah mungkin tuan sedang tidak enak badan.” Karena menurut sugesti mereka pun kopi arab bisa mengurangi sakit perut.

Ia kembali ke kamar, melanjutkan niatnya menikmati rehat setelah lelah. Tanpa sepengetahuannya sang tuan membuntutinya. Tiba-terdengar suara pintu terbuka tanpa bunyi ketuk pintu atau suara orang memanggil. Memang ia tadi belum sempat mengunci pintu kamarnya.
“Tuan, ada perlu apa tuan mengikuti saya?”
Tanpa jawab, hanya dengan caranya menatap sarah paham jika kondisi saat itu tidak bersahabat. Sarah mundur ketakuatan, berusaha menjauhi pemandangan yang menakutkan itu. Ia pun berusaha menghindar. Menghindar dan menghindar. “Hasbiyallah, Haram alaik..” serunya meredam ketakutan. Namun ucapanya itu tak dihiraukan oleh orang yang tengah kesurupan setan yang terkutuk itu. Lelaki itu semakin mendekat. Ia selalu berusaha menghindar, dan lari keluar dari kamar. Apa lah daya seorang perempuan kurus dibanding dengan tubuh gendut yang mengejarnya itu. Lelaki gendut itu pun dapat menggapai perempuan kurus yang dikejarnya itu. Namun ia hanya menggapai baju pada bagian pundak perempuan kurus itu, sehingga robeklah baju karena si perempuan terus berusaha menyelamatkan diri dalam lingkup rumah itu.

Ketika tiba pada suasana yang menegangkan, bagai kucing hendak melahap ikan asin di depanya. Tiba-tiba terdengar suara bel dari luar....tingtongtingtongtingtong....tampaknya si Basim memainkan bunyi bel itu. Terdengar suara basim putra sulungnya yang berusia sekitar 17 tahun serta nyonya dan lain-lain telah pulang dari acara pesta itu. Sarah pun segera membetulkan kerudungnya dan membetulkan bajunya serta menutupi bagian yang robek itu. Ia segera bergegas menuju pintu utama menyambut nyonya dan lainya.

Alhamdulillah.... ucap syukurnya. “Terimakasih ya Robb Kau telah selamatkan hamba dari aksi gila itu. Selamatkan hamba dari hal-hal keji seperti tadi ya Robb. Hamba berlindung kepada-Mua ya Robb. Kepada siapa lagi hamba berlindung jika tidak kepada-Mu.” Sujud syukur pun ia lakukan setelah selamat dari mara bahaya itu.

&&&

Sejak peristiwa itu rasanya ia tidak lagi nyaman berada di lingkungan itu. Apa lagi jika suasana rumah tengah sepi. Perasaan waswas selalu meliputi dirinya. Sang tuan yang katanya seorang polisi yang seharusnya menegakkan hukum tak ubahnya seperti binatang jalang yang tak tahu adab. Ia yang baru saja tiga bulan tinggal di lingkunga itu rasanya telah benar-benar tidak nyaman.

Peristiwa serupa pun terulang lagi dua minggu kemudian. Sepertinya lelaki itu begitu marah karena aksi yang lalu telah gagal. Lagi-lagi sang nyonya sedang keluar rumah. Mungkin sedang shoping atau sekedar jalan-jalan saja. Biasanya memang seperti itu, jika Nyonya ada keperuan maka tuan lah yang mengantarkan, lalu jika keperlunya sudah selesai barulah nyonya menelpon tuan minta dijemput. Tak ada supir pribadi di rumah itu.

Kali itu, baru saja lelaki tak beradab itu mendekatinya, tiba-tiba hand phone bersumber dari sakunya berdering. Ternyata bunyi telephone itu dari nyonya yang minta dijemput karena keperluanya telah selesai. Tak biasanya pula nyonya keluar secepat itu. Baru keluar sekitar tiga puluh menit sudah minta dijemput. “Allah kareem...Syukron ya Robb, Engkau telah menyelamatkan hamba dari perbuatan bejad itu.” Ucap syukurnya sembari bernafas lega.

Ruppanya tidak ada kapoknya juga lelaki tak beradab itu berusaha menggangu perempuan kurus dibandingkan dengan istrinya itu. Entah apa yang ada dalam otak tidak warasnya itu. Padahal telah mempunyai yang halal namun masih serakah. Layaknya seseorang yang buta hukum. Tidak malu dengan jabatan yang diembanya. Atau hanya sekedar seragam biar terlihat keren saja. Ghairu adab, mungkin itu sebutan yang cocok untuk manusia dengan tingkah seperti binatang.

Terakhir, peristiwa tidak menyenangkan itu terulang siang kemarin. Pada terik matahari di atas kepala. Namun sang Maha pelindung masih melindungi perempuan kurus berkulit putih itu. Ya, ketika itu menjelang waktu dzuhur. Memang jika syetan telah merasup, tak lagi peduli dengan waktu atau pun tempat untuk melampiaskan hal buruk lagi terkutuk. Siang itu ia tengah asyik membereskan dapur setelah selesai memasak. Tanpa sepengetahuanya lelaki buruk hati itu tengah mengintai di belakangnya. Ia terperanjat ketika membalikkan badan menjumpai pemandangan yang membuatnya tidak betah. Melihat terkelebat bajunya saja tidak sudi, dan kali itu rupa buruk orang yang membuatnya trauma itu telah benar-benar di depannya. Ia pun kaget dibuatnya, sehingga cerek yang ia pegang pun terjatuh.

Prraaaaakkkkk....ia tarik mundur langkahnya. Mundur dan mundur. Ketika tak ada lagi ruang untuk memberinya kesempatan berjalan mundur karena telah mentok pada sebuah dinding, langkahnya pun terhenti. “kemana lagi aku kan menghindar?” Ia terjebak dalam kondisi genting. Ketika ia hendak melangkah ke samping dengan suasana hati yang tergopoh-gopoh, entah dengan cara apa lagi menghindarinya. Tiba-tiba suara Adzan berkumandang. Ya, telah masuk wahtu dzuhur. Tak lama kemudian suara nenek tua yang cempreng pun terdengar memanggil namanya. Biasa jika waktu sholat tiba ia minta ditemani untuk mengambil air wudu dengan kursi rodanya.Ketiga kalinya ia pun selamat dari aksi bejad sang tuan.
&&&

Sepertinya kondisi itu sudah tak dapat ia tolerir lagi. Bagaimanapun caranya ia ingin lepas dari segala ketidaknyamanannya itu. Barangkali itu yang terbesit dalam benaknya. Siang itu kondisi rumah telah benar-benar sepi. Semua penghuni rumah tengah menikmati liburan akhir pekan. Sengaja ia menolak ketika diajak. Tepatnnya sekitar pukul 14.30 ia sendiri di kamar itu. Tak lupa pintu kamar ia kunci rapat-rapat. Lagi-lagi ia menengok keluar jendela. “Bagaimana aku turun dari jendela setinggi ini?” Pikirnya dalam hati. Namun ia pikir-pikir lagi, barang kali ini waktu yang tepat untuknya. Ya, waktu yang tepat untuk terlepas dari segala ketidaknyamananya.

Loncat dari jendela itulah cara satu-satunya. Tanpa memikirkan seperti apa sakitnya jatuh dari tembok dengan tinggi sekitar tujuh meter saja. Begitulah niatnya untuk menyelamatkan diri, bukan bunuh diri. Pikirnya ia masih punya iman untuk tidak mengakhiri hidupnya dengan jalan yang tidak diridloi oleh-Nya. Sekali lagi ditegaskan dalam niatnya, bahwa usahanya adalah untuk menyelamatka diri. Bukan bunuh diri. Ada pun nanti dalam upaya menyelamkan dirinya itu lalu Allah mencabut nyawanya, itu sama sekali diluar niatnya. Begitu ia menguatkan tekad.

Dibawanya tas ukuran sedang dengan sedikit baju dan buku telephone yang dianggapnya penting. Handphone saja ia belum punya. Uang, tak terbesit sama sekali dibenaknya untuk membawa uang, karena memang belum mendapat gaji selama tiga bulan itu.

Bismillah, dengan abaya dan kerudung sekenanya. Tak sempat ia kenakan tutup wajah, hanya dimasukkannya dalam tas. Loncat, dan ia pun benar-benar loncat...Gedebug...kira-kira seperti itu bunyinya. Antara sadar dan tidak sadar. Pelan-pelan ia pun membuka mata, karena tadi sebelum loncat ia menutup kelopak matanya. Membuka mata sambil menahan sakit dan lecet-lecet dikakinya. Ia pun melihat sekitar, ia raba jantungnya ternyata masih berdegup. Ia sadar ternyata dirinya masih berada di dunia. Tak terpikir lagi istilah keseleo atau pun patah tulang atas apa yang telah ia lakukan. Yang ada dalam benaknya adalah ingin segera menjauh dari lingkungan itu.

Ia pun melangkah menjauhi gedung itu. Menjauh lalu menjau. Entah jalan mana yang ia lalui ia tak paham. Berusaha melangkah agar tidak mencurigakan. Kali itu ia telah benar-benar jauh dari rumah yang membuatnya trauma itu. Jauh, jauh dan jauh, entah telah berapa ratus meter ia berjalan kaki. Tak sempat lagi ia memikirkan sejauh mana langkahnya.

Dijumpainya area ramai, segerombolan orang keluar dari bis berseragam putih-putih. Mereka terlihat fresh karena baru saja datang untuk memulai tugas sore. Sepertinya wajah-wajah asia tenggara dan india, pikirnya dalam hati. Sebagian berbelok ke toko, sebagian langsung masuk ke sebuah gedung. Mungkin itu rumah sakit, pikirnya pula. Namun ia mebelokan langkahnya menuju toko itu. “Barang kali ada yang bisa saya tanya disana.” Pikirnya. Ia menghampiri seseorang yang yang berwajah asia. “Mungkin saja mengerti bahasaku.” Pikirnya lagi. Ketika ia bertanya ternyata bahasanya tidak nyambung. Mereka yang berseragam putih-putih itu menggunakan bahasa tagalog, sedangkan dirinya menggunakan bahasa indonesia.

Rupanya seseorang yang berbhasa tagalog itu dapat membaca kepanikannya. Dengan bahasa isyarat si tagalog itu mengajak wanita itu untuk mengikuti dirinya menuju rumah sakit. Kebetulan ketika itu adalah jam berkunjung keluarga kepada pasien, sehingga banyak pendatang berseliweran disana. Alhasil masuklah siperempuan itu mengikuti si tagalog. Lalu dipertemukannya perempuan itu pada seorang perawat yang bahasanya sama dengan wanita itu.
“Lita...come here!” Panggil Weena si tagalog itu. Lita pun mendekati Weena.
Terlihat disana seorang wanita dengan wajah gelisahnya. Lita tak paham apa maksud Weena memanggil dirinya.
“Lita, can you talk with her, maybe you can understand her language” Jelas Weena.
“Mbak...tolong saya...” Wanita itu merajuk minta tolong sambil berurai air mata.
“Kenapa. Mbak?” Tanya Lita kepada Wanita itu.

Lalu wanita itu menceritakan alur perjalanannya hingga akhirnya ia sampai ke Rumah sakit itu. Lita yang hanya bergelut dengan dunia asrama dan area kerjanya seperti kebingungan harus dengan cara apa ia menolong dalam kondisi yang tak leluasa itu. Ia pun Tak begitu paham dengan lingkungan luar. Sementara melihat wanita itu ia benar-benar tidak tega.

Lita akhirnya menghubungi rekannya yang sedang bertugas di lantai tiga. Barangkali rekannya itu bisa menghubungi seseorang yang paham dengan hal-hal seperti itu. Keduanya berdiskusi sambil diliputi rasa panik karena kasiahan melihat Sarah dalam kegelisahanya. Ilegal telah menjadi pilihan Sarah pada negara tertutup yang menganut hukum ketat.

Lita mencoba menghubungi temanya yang tinggal diluar barangkali bisa membantu. Namun apa yang ia dapat? Dalam kondisi terdesak itu seseorang yang katanya bisa menolong meminta imbalan dari Sarah yang benar-benar minta perlindungan. Gila, pikirnya. Sama bangsa sendiri saja segitunya. Sudah keluar dari sarang harimau saja sudah untung bagi Sarah, malah meminta imbalan pada korban yang tidak punya apa-apa. Benar-benar tak punya jiwa belas kasihan sama sekali. Karena kali itu Lita tidak membawa bekal. Dirinya mana tahu jika bakal ada seseorang yang datang minta tolong.

Datanglah Icha yang bertugas di lantai tiga. Membawa kabar jika ada seseorang yang bersedia menolong wanita itu.

Alhamdulillah ketiganya merasa lega. Namun ia masih harus menunggu beberapa saat. Menanti pak Habib yang bersedia menjemputnya.

Sarah hanya bisa pasrah dalam kondisi semacam itu. Berharap Allah akan mempertemukannya dengan orang baik yang berjiwa ikhlas. Si tagalong Weena pun berinisiatif mengumpulkan uang dengan teman-temannya untuk diberikan kepada Sarah. Weena adalah seorang nasrani berkebangsaan philipna. Tidak banyak yang ia kumpulkan hanya 25 SR saja. Karena ketika itu Lita tidak membawa bekal, ia meminta tolong kepada Egyptian bernama Ameera. Berharap ia bersedia meminjamkan uangnya untuk Sarah. Lita berniat mengembalikannya setelah sampai di sakan nanti. Tanpa berfikir panjang Egyptian berparas ayu itu langsung mengeluarkan isi dompetnya sebanyak 150 SR dan memberikannya kepada Lita.

Icha pun kembali mengampiri Lita yang sedang bersama Sarah. Ia mengabarkan bahwa Pak Habib telah siap dengan mobilnya di depan Pintu Tawari. Dengan berhati-hati Lita dan Icha mengantar Sarah menemui Pak Habib. Hanya berbekal 175 SR sarah pun ikut bersama Pak Habib, beradu nasib dengan harapan ditempat baru itu akan lebih baik dari sebelumnya. Walau ia tahu bahwa kondisinya telah menjadi ilegal.

Sesampainya di sakan pun Lita menjumpai Ameera. Ia tidak lupa bahwa siang tadi ia meminjamkan uang untuk seseorang yang tengah dilanda kesulitan. Ia bermaksud mengembalikan sejumlah uang itu. Namun diluar dugaan, Egyptian itu nyaris menolak pemberian Lita. Ia berdalih jika maksudnya adalah menolong. Namun Lita merajuk agar Ameera mau menerima uang pemberianya, karena maksudnya tadi adalah meminjam. Akhirnya keduanya mengambil jalan tengah, Ameera mau menerima 100 SR dari Lita, dan selebihnya adalah untuk Sarah yang tengah dalam kesulitan.

MasyaAllah, dalam kondisi semacam itu ternyata masih ada bangsa lain yang lebih care. Si tagalong Weena dan Ameera Egyptian. Lita jadi teringat kepada orang pertama yang dimintai tolong namun dengan terang-terangan meminta imbalan. Seakan memanfaatkan kondisi genting sebagai bisnis. Sungguh tak berhati menurutnya.

@@@@@

---Teringat akan seseorang yang datang dengan air mata yang belum sempat ku Tanya siapa namanya---

OMAR LAMAR

Tak ku sangka pengembaraanku sampai pada daerah bergunung-gunung batu. Daerah berudara sejuk dibanding wilayah Saudi Arabia pada umumnya. Jika musim panas suhunya hanya seperti iklim tropis saja. Namun jika musim dingin suhunya mencapai lima derajat celcius. Kondisi semacam itu lumayan membuat aku yang biasa tinggal di daerah tropis ini merasa beku. Beku karena enggan beraktivitas, enggan bergerak dan lebih memilih bersembunyi di balik selimut. Meskipun demikian aku mensiasati diri pada tubuh kecilku yang tak tahan dingin itu dengan mengenakan baju tebal berlapis-lapis. Dengan begitu aku dapat beraktifitas pada dingin yang mencekam jika tiba giliranku shift malam. Aku terlihat gemuk oleh lapisan-lapisan baju itu.

Pada pagi, siang, malam aku melakoni tugas harianku sesuai yang di jadwalkan. Berusaha menikmati hari-hari berjumpa dengan rekan kerja, berjumpa dengan anak-anak kecil yang terbaring lemah, mencoba bercanda gurau dengan mereka tuk alihkan pedih yang tengah mereka alami. Lain halnya dengan mereka yang terbaring dalam kondisi kritis dan membutuhkan perhatian khusus. Mesin pemantau selalu stand by membaca kondisi pasien-pasien kritis itu.

Jika tiba gilirannya PM shif t yang dijadwalkan mulai pukul 15:00 sampai dengan pukul 23:00. Pada kesempatan itu keluarga atau pun kerabat si sakit diberi kesempatan untuk berkunjung menjenguknya. Tak begitu lama waktu kunjungan di ruang ICU. Hanya dari pukul 16:00 sampai pukul 18:00 menjelang waktu sholat maghrib tiba. Selama waktu itu kami dihadapkan dengan beberapa pertanyaan mengenai kondisi pasien oleh pengunjung. Satu hal yang membuatku salut, dalam kondisi sekritis apa pun mereka tak ketinggalan mengucapkan alhamdulillah. Puji syukur kepada Allah selalu di panjatkan dalam segala kondisi. Ikhlas dengan apa yang tengah diujikan oleh Allah kepada si sakit atau pun kerabatnya. Tak hanya diucapkan jika dalam momen bahagia saja.
Manusia memiliki berbagai karakter. Jika tidak puas dengan kondisi keluarganya yang terbaring lemah tak jarang yang mengajukan komplen dengan keluhan-keluhan yang disaampaikannya. Alasan ini dan itu diutarakan. Kami sebagai tenaga medis hanya mampu berusaha semaksimal mungkin dalam menolong. Hasilnya kami serahkan kepada sang Maha penyembuh. Lain halnya dengan mereka para penyabar yang ikhlas dalam segala kondisi yang tengah dihadapinya.

&&&

Bercerita mengenai keluarga pasien, ada beberapa keluarga pasien yang kami anggap dekat karena lamanya anak-anak itu dirawat di ruang kronik itu. Bahkan bisa dianggap kami para perawat adalah orang tua dari mereka. Karena para orang tua hanya boleh mengunjungi anaknya itu pada jam kunjungan saja. Bagi mereka yang tempat tinggalnya jauh dari Rumah sakit itu tidak bisa menegok setiap hari. Hanya beberapa kali dalam sebulan saja. Bahkan ada yang beberapa bulan baru muncul melihat anaknya.

Keluarga Umar adalah salah satu dari pasangan orang tua yang sering menjenguk buah hati mereka. Namun hari itu senyum manis mereka tidak tampak. Wajah layu berbalut mendung itulah yang tampak oleh keduanya. Kondisi kesehatan putranya yang semakin kritis menjauhkan wajah mereka dari ceria yang biasa tampak olek keduanya.

Hari itu niqabnya tampak basah. Ia tak mampu lagi menahan kesedihan yang tengah menghampirinya melihat tubuh Umar tersayang terbujur kaku. Setelah lama berharap dalam koma berkepanjangan, hari itu telah terjawab sudah. Bocah mungil yang kehadirannya dinanti selama lima tahun itu kini telah kembali ke pangkuanNya. Ya, bertahun-tahun pasangan suami-istri itu menanti kelahiran umar. Saleh yang dikenal ramah dikalangan keluarga pasien itu, kali itu ia tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya berdiri disamping Rehana istri tercintanya seraya meletakkan tangannya di bahu Rehana. Ia membiarkan sang istri bersandar di bahunya berusaha melerai tangis yang telah pecah. Ah lagi-lagi aku tak kuasa menyaksikan adegan seperti itu. Adegan yang kulihat setelah aku dan rekanku merapikan jasad yang tak lagi bernyawa.

&&&

Saleh adalah seorang pengajar pada salah satu madrasah Tsanawiyah di wilayah Taif K.S.A. Sepeninggalan Umar, kami tak lagi melihat pria berjenggot itu muncul di area kronik itu. Setiap sore ia rajin menengok buah hatinya sekedar membacakan kalamullah lalu mendoakannya. Begitu pun Rehana wanita berkaca mata dengan niqabnya itu tidak lagi tampak di ruangan itu. Ia yang kerap kali dating sekedar bercanda gurau dengan putranya sambil memutar video Hamood hand phone miliknya. Karakternya yang lembut hampir tidak pernah mengeluh komplen kepada dokter atau pun perawat yang bertugas disana. Ya, Kami mengakui tabiat baik kedua sejoli itu.

Pernah suatu ketika ada keluarga pasien yang mengeluh komplen atas kondisi anaknya yang baru saja dirawat di ruang ICU. Lalu kulihat Rehana mendekatinya. Ia memberi pengertian kepada kepada ibu dari pasien itu. “Petugas disini bekerja selama 24 jam dan memberi perhatian penuh. Anak saya telah lebih lama dirawat disini, dan mereka pun perhatian. Bersabarlah, Allah akan menyembuhkan anakmu insyaAllah.” Begitu tutur Rehana kepada ibu dari pasien baru itu. Dan tampak sekali perubahan dari sang ibu tadi setelah mendapat pengertian dari Rehana. Ia tidak lagi mengejukan komplen dengan nada keras seprti sebelumnya.

Memang Kami mengakui emosi dari keluarga pasien kebanyakan labil karena belum menerima kondisi yang tengah menimpa keluarganya. Tak jarang kami sebagai petugas terkadang terkena dampak dari keadaan itu. Namun kami pun memaklumi jika pelampiasan itu masih dalam batas wajar. Apalagi pada penduduk yang terkenal badui diantara penduduk Saudi lainnya. Masih banyak dari mereka yang pendidikanya rendah padahal biaya pendidikan di Negara itu telah dijamin oleh pemerintah namun mereka enggan bersekolah.

&&&

Tiba saatnya bulan Ramadan, dimana jam besuk pasien di Rumah Sakit itu dirubah usai berbuka puasa sampai pukul 11 malam. Malam itu kira-kira selepas sholat tarawih kami melihat saleh dating ke Rumah Sakit. Ia mengunjungi area kronik tempat dahulu Umar dirawat disana. Ia pun mencandai pasien kecil yang terbaring di sana seperti dahulu ia bercanda gurau dengan putranya. Mungkin sekedar melepas rindu kepada buah hatinya yang telah tiada maka itulah yang ia lakukan.

Saleh pun menyapa kami para petugas disana. Ia menyampaikan bahwa maksud kedatanganya sekedar bersilaturrahmi mengingat dahulu putranya pernah dirawat di ruang itu. Sekalian menyampaikan berita gembira bahwa istrinya tengah mengandung. Alhamdulillah kami pun senang mendengar kabar bahagia itu. Semoga kelak anaknya sehat, itu lah satu doa yang kami panjatkan untuk keduanya.

&&&
Spinal muscular atrophy itulah diagnosa yang diderita oleh almarhum Umar Saleh. Saraf bagian ekstremitar yang tidak berfungsi sempurna sehingga ia tidak bisa menggerakan tangan dan kakinya. Hanya sebatas jari telunjuk yang mampu digerakannya.

Tidak hanya Umar yang menderita penykit seperti itu. Lamar salah satunya. Ia adalah salah satu penghuni area kronik dengan diagnose yang sama. Pertumbuhan tubuhnya tidak norman hingga menjalar pada otot-otot pernafasan yang melemah. Untuk bernafas ia harus disuport dengan ventilator melalui jalan nafas buatan yang dilubangi dari lehernya. Tracheostomy yang terpasang permanen dibantu dengan mesin pensuport nafas. Begitulah caranya ia bernafas.

Sedih yang sangat pastilah beban mental yang harus dihadapi oleh kedua pasangan itu ketika harus mendengar kabar bahwa divonis permanen menggunakan ventilator. Seumur hidupnya harus tinggal di rumah Sakit dibantu dengan alat-alat medis.

Bukan masalah biaya pengobatan yang mereka khawatirkan. Karena dana seluruh dana kesehatan warga di Negara itu sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Bahkan para orang tua yang yang mempunyai anak dengan kasus kronik seperti itu mendapat tunjangan khusus sekian ribu Riyal per bulannya. Mungkin maksud pemerintah setempat dengan dana itu sebagai alih-alih pelipur sedih atas kondisi yang menimpa keluarga itu.

Mirisnya ada sebagian keluarga yang memperalat kondisi tersebut. Mereka tidak rela jika anaknya sampai meninggal. Mereka lebih menginginkan anaknya hidup dengan cacat yang dideritanya. Jika sedikit saja kondisi kesehatannya menurun, maka bukan main mengajukan komplen. Ya, dana tunjangan itu mengalir selagi pasien masih hidup. Jika si pasien telah meninggal maka diputus pula dana tunjangan dari pemerintah itu.

Kami menyebut anak-anak tersebut adalah anak mahal. Karena harus sangat hati-hati dalam merawatnya. Semoga pandangan kami dalam hal itu adalah salah, jika memang para orang tua mengajimumpungkan kondisi itu untuk mendapat uang.

&&&

Kedua orang tua lamar pun setiap sore rajin mengunjungi buag hatinya. Walau pun, mereka tahu kondisi anaknya bakal cacat seumur hidup, namun mereka memperlakukanya dengan penuh kasih saying. Sebagai wujud perhatiannya mereka pun membelikan mainan layaknya anak normal seusianya. Sekedar boneka penghias ranjang tidur atau pun portable DVD yang diputarkan untuk menemaninya ketika terjaga. Kalau pun ayah atau ibunya tak sempat menengok, Abdurrahman ayah lamar kerap kali menanyakan kondisi anaknya via telephone. Ia menanyakan kondisi anaknya kepada petugas yang sedang dinas disana.

Dibalik keharmonisannya tercium kabar bahwa Abdurrahman dan fatma ibu lamar sedang pisah ranjang. Mereka nyaris bercerai dengan alas an bahwa fatma menolak untuk mempunyai anak lagi. Kia khawatir jika nanti anakny lahir akan menderita penyakit yang sama seperti kakaknya.

Rupanya kekhawatirannya itu berdampak pada keharmonisan rumah tangga mereka. Dahulu mereka tampak bersama bercanda gurau dengan anaknya yang terbaring sakit di ranjang putih itu. Kala itu tidak lagi demikian adanya. Jika Abdurrahman tengah asyik menemani Lamar, lalu sosok fatma muncul. Maka ia pun pergi memberikan kesempatan kepada Fatma agar bisa bercanda gurau menengok putrinya.

Kejadian itu tidak berlangsung lama. Kurang lebih hanya tiga bulan saja. Setelah keduanya menyadari bahwa segala apa yang terjadi adalah kehendakNya. Fatma pun mau membuka hatinya kembali merajut keharmonisan yang pernah pudar.

&&&

Beberapa bulan setelah Ramadan lalu tampak saleh tengah berbincang-bincang dengan Abdurrahman di dekat tempat tidur Lamar. Seperti yang kerap kali ia lakukan dahulu, setelah menjenguk putranya ia pun menjenguk Lamar yang mempunya diagnose yang sama seperti anaknya.

Rehana telah melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Umar. Sengaja namanya disamakan dengan putra pertamanya, sebagai pengganti umar yang telah tiada. Ia juga berharap Umarnya akan setangguh Umar Bin Khotob sahabat Rosul.

Usia Umar saat itu baru empat bulan. Kali itu memang umar sedang dirawat di lantai atas. Ruang anak biasa pada umumnya akibat pneumonia yang dideritanya.

Setelah beberapa minggu Umar dirawat namun tidak menunjukan adanya perbaikan. Pada minggu Umar dipindahkan ke ICU. Dengan nafas yang tersengal-sengal serta keadaan umum yang jelek Umar dilarikan ke ruang ICU pada malam itu. Diantar oleh dr. Mahboob serta perawat jaga dari ruang anak. Rehana pun ikut serta mengantar putranya itu.

Dokter menjelaskan jika diduga anaknya menderita diagnosa yang sama dengan saudaranya yang telah meninggal. Belum lepas dari ingarutan kami akan sosok Umar yang dahulu, kini umar yang baru dating dengan kasus yang sama.

Kali itu kembali aku melihat Rehana sesenggukan. Sedih yang teramat ia rasakan sudah tak tertahan lagi. Ia lebih memilih menjauh karena tidak tega melihat anaknya harus ditangani oleh tenaga medis.
Aduhai rehana, bersabarlah. Hanya satu kata itu yang mampu ku ucap ketika kami selesai membenahi Umar diruang tindakan.

&&&

Saleh dan Rehana sudah pasrah dengan kondisi anak keduanya. Ia sudah menerima jika memang Umarnya kini akan sama seperti Umarnya yang dahulu. Ia bakal menghuni area kronik itu lagi yang hidupnya bergantung kepada mesin-mesin itu.

Berbeda dengan Fatma ibu Lamar yang dulu sempat khawatir jika mempunyai anak lagi akan bernasib sama. Hal itu sempat mengusik keharmonisan rumah tangga mereka. Sebaliknya Rehana dan Saleh semakin romantis saja. Mereka berkeinginan untuk mempunyai momongan lagi. Mereka berharap kelak Allah akan memberikan keturunan untuk mereka dengan sehat jasmani dan rohani.

Untuk itu Rehana benar-benar menjaga kesehatannya. Ia pun rela dan sangat menginginkan jika nanti akan ada lagi janin yang tumbuh di rahimnya. Karena itu ia tak sering tampak mengunjungi Umar di ruang itu. Hanya Saleh dan kerabat lain yang tak jemu menengok Umar.

Suatu ketika aku bertugas di sore hari. Tampak Rehana berada di Area kronik bercanda gurau dengan Umar. Aku menghampirinya. Cipika-cipiki serta salam dan kabar ku tanyakan. Rasanya aku begitu kangen dengan kelembutannya. Ketika usia Umar setahun lebih empat bulan. Rehana menggendong bayi mungil yang diberi nama Jana, tak lain itu adalah adik kandung Umar. Mereka sangat berharap jika Jana akan benar-benar sehat sebagai penerus pasangan itu. Penantian panjang oleh kedua sejoli itu akhirnya terwujud sudah dengan hadirnya Jana si bayi mungil itu.

_________&&&___________

Cibubur, 8 februari 2011. Mencuri hening dalam riuh.