Monday, December 19, 2011

OMAR LAMAR

Tak ku sangka pengembaraanku sampai pada daerah bergunung-gunung batu. Daerah berudara sejuk dibanding wilayah Saudi Arabia pada umumnya. Jika musim panas suhunya hanya seperti iklim tropis saja. Namun jika musim dingin suhunya mencapai lima derajat celcius. Kondisi semacam itu lumayan membuat aku yang biasa tinggal di daerah tropis ini merasa beku. Beku karena enggan beraktivitas, enggan bergerak dan lebih memilih bersembunyi di balik selimut. Meskipun demikian aku mensiasati diri pada tubuh kecilku yang tak tahan dingin itu dengan mengenakan baju tebal berlapis-lapis. Dengan begitu aku dapat beraktifitas pada dingin yang mencekam jika tiba giliranku shift malam. Aku terlihat gemuk oleh lapisan-lapisan baju itu.

Pada pagi, siang, malam aku melakoni tugas harianku sesuai yang di jadwalkan. Berusaha menikmati hari-hari berjumpa dengan rekan kerja, berjumpa dengan anak-anak kecil yang terbaring lemah, mencoba bercanda gurau dengan mereka tuk alihkan pedih yang tengah mereka alami. Lain halnya dengan mereka yang terbaring dalam kondisi kritis dan membutuhkan perhatian khusus. Mesin pemantau selalu stand by membaca kondisi pasien-pasien kritis itu.

Jika tiba gilirannya PM shif t yang dijadwalkan mulai pukul 15:00 sampai dengan pukul 23:00. Pada kesempatan itu keluarga atau pun kerabat si sakit diberi kesempatan untuk berkunjung menjenguknya. Tak begitu lama waktu kunjungan di ruang ICU. Hanya dari pukul 16:00 sampai pukul 18:00 menjelang waktu sholat maghrib tiba. Selama waktu itu kami dihadapkan dengan beberapa pertanyaan mengenai kondisi pasien oleh pengunjung. Satu hal yang membuatku salut, dalam kondisi sekritis apa pun mereka tak ketinggalan mengucapkan alhamdulillah. Puji syukur kepada Allah selalu di panjatkan dalam segala kondisi. Ikhlas dengan apa yang tengah diujikan oleh Allah kepada si sakit atau pun kerabatnya. Tak hanya diucapkan jika dalam momen bahagia saja.
Manusia memiliki berbagai karakter. Jika tidak puas dengan kondisi keluarganya yang terbaring lemah tak jarang yang mengajukan komplen dengan keluhan-keluhan yang disaampaikannya. Alasan ini dan itu diutarakan. Kami sebagai tenaga medis hanya mampu berusaha semaksimal mungkin dalam menolong. Hasilnya kami serahkan kepada sang Maha penyembuh. Lain halnya dengan mereka para penyabar yang ikhlas dalam segala kondisi yang tengah dihadapinya.

&&&

Bercerita mengenai keluarga pasien, ada beberapa keluarga pasien yang kami anggap dekat karena lamanya anak-anak itu dirawat di ruang kronik itu. Bahkan bisa dianggap kami para perawat adalah orang tua dari mereka. Karena para orang tua hanya boleh mengunjungi anaknya itu pada jam kunjungan saja. Bagi mereka yang tempat tinggalnya jauh dari Rumah sakit itu tidak bisa menegok setiap hari. Hanya beberapa kali dalam sebulan saja. Bahkan ada yang beberapa bulan baru muncul melihat anaknya.

Keluarga Umar adalah salah satu dari pasangan orang tua yang sering menjenguk buah hati mereka. Namun hari itu senyum manis mereka tidak tampak. Wajah layu berbalut mendung itulah yang tampak oleh keduanya. Kondisi kesehatan putranya yang semakin kritis menjauhkan wajah mereka dari ceria yang biasa tampak olek keduanya.

Hari itu niqabnya tampak basah. Ia tak mampu lagi menahan kesedihan yang tengah menghampirinya melihat tubuh Umar tersayang terbujur kaku. Setelah lama berharap dalam koma berkepanjangan, hari itu telah terjawab sudah. Bocah mungil yang kehadirannya dinanti selama lima tahun itu kini telah kembali ke pangkuanNya. Ya, bertahun-tahun pasangan suami-istri itu menanti kelahiran umar. Saleh yang dikenal ramah dikalangan keluarga pasien itu, kali itu ia tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya berdiri disamping Rehana istri tercintanya seraya meletakkan tangannya di bahu Rehana. Ia membiarkan sang istri bersandar di bahunya berusaha melerai tangis yang telah pecah. Ah lagi-lagi aku tak kuasa menyaksikan adegan seperti itu. Adegan yang kulihat setelah aku dan rekanku merapikan jasad yang tak lagi bernyawa.

&&&

Saleh adalah seorang pengajar pada salah satu madrasah Tsanawiyah di wilayah Taif K.S.A. Sepeninggalan Umar, kami tak lagi melihat pria berjenggot itu muncul di area kronik itu. Setiap sore ia rajin menengok buah hatinya sekedar membacakan kalamullah lalu mendoakannya. Begitu pun Rehana wanita berkaca mata dengan niqabnya itu tidak lagi tampak di ruangan itu. Ia yang kerap kali dating sekedar bercanda gurau dengan putranya sambil memutar video Hamood hand phone miliknya. Karakternya yang lembut hampir tidak pernah mengeluh komplen kepada dokter atau pun perawat yang bertugas disana. Ya, Kami mengakui tabiat baik kedua sejoli itu.

Pernah suatu ketika ada keluarga pasien yang mengeluh komplen atas kondisi anaknya yang baru saja dirawat di ruang ICU. Lalu kulihat Rehana mendekatinya. Ia memberi pengertian kepada kepada ibu dari pasien itu. “Petugas disini bekerja selama 24 jam dan memberi perhatian penuh. Anak saya telah lebih lama dirawat disini, dan mereka pun perhatian. Bersabarlah, Allah akan menyembuhkan anakmu insyaAllah.” Begitu tutur Rehana kepada ibu dari pasien baru itu. Dan tampak sekali perubahan dari sang ibu tadi setelah mendapat pengertian dari Rehana. Ia tidak lagi mengejukan komplen dengan nada keras seprti sebelumnya.

Memang Kami mengakui emosi dari keluarga pasien kebanyakan labil karena belum menerima kondisi yang tengah menimpa keluarganya. Tak jarang kami sebagai petugas terkadang terkena dampak dari keadaan itu. Namun kami pun memaklumi jika pelampiasan itu masih dalam batas wajar. Apalagi pada penduduk yang terkenal badui diantara penduduk Saudi lainnya. Masih banyak dari mereka yang pendidikanya rendah padahal biaya pendidikan di Negara itu telah dijamin oleh pemerintah namun mereka enggan bersekolah.

&&&

Tiba saatnya bulan Ramadan, dimana jam besuk pasien di Rumah Sakit itu dirubah usai berbuka puasa sampai pukul 11 malam. Malam itu kira-kira selepas sholat tarawih kami melihat saleh dating ke Rumah Sakit. Ia mengunjungi area kronik tempat dahulu Umar dirawat disana. Ia pun mencandai pasien kecil yang terbaring di sana seperti dahulu ia bercanda gurau dengan putranya. Mungkin sekedar melepas rindu kepada buah hatinya yang telah tiada maka itulah yang ia lakukan.

Saleh pun menyapa kami para petugas disana. Ia menyampaikan bahwa maksud kedatanganya sekedar bersilaturrahmi mengingat dahulu putranya pernah dirawat di ruang itu. Sekalian menyampaikan berita gembira bahwa istrinya tengah mengandung. Alhamdulillah kami pun senang mendengar kabar bahagia itu. Semoga kelak anaknya sehat, itu lah satu doa yang kami panjatkan untuk keduanya.

&&&
Spinal muscular atrophy itulah diagnosa yang diderita oleh almarhum Umar Saleh. Saraf bagian ekstremitar yang tidak berfungsi sempurna sehingga ia tidak bisa menggerakan tangan dan kakinya. Hanya sebatas jari telunjuk yang mampu digerakannya.

Tidak hanya Umar yang menderita penykit seperti itu. Lamar salah satunya. Ia adalah salah satu penghuni area kronik dengan diagnose yang sama. Pertumbuhan tubuhnya tidak norman hingga menjalar pada otot-otot pernafasan yang melemah. Untuk bernafas ia harus disuport dengan ventilator melalui jalan nafas buatan yang dilubangi dari lehernya. Tracheostomy yang terpasang permanen dibantu dengan mesin pensuport nafas. Begitulah caranya ia bernafas.

Sedih yang sangat pastilah beban mental yang harus dihadapi oleh kedua pasangan itu ketika harus mendengar kabar bahwa divonis permanen menggunakan ventilator. Seumur hidupnya harus tinggal di rumah Sakit dibantu dengan alat-alat medis.

Bukan masalah biaya pengobatan yang mereka khawatirkan. Karena dana seluruh dana kesehatan warga di Negara itu sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Bahkan para orang tua yang yang mempunyai anak dengan kasus kronik seperti itu mendapat tunjangan khusus sekian ribu Riyal per bulannya. Mungkin maksud pemerintah setempat dengan dana itu sebagai alih-alih pelipur sedih atas kondisi yang menimpa keluarga itu.

Mirisnya ada sebagian keluarga yang memperalat kondisi tersebut. Mereka tidak rela jika anaknya sampai meninggal. Mereka lebih menginginkan anaknya hidup dengan cacat yang dideritanya. Jika sedikit saja kondisi kesehatannya menurun, maka bukan main mengajukan komplen. Ya, dana tunjangan itu mengalir selagi pasien masih hidup. Jika si pasien telah meninggal maka diputus pula dana tunjangan dari pemerintah itu.

Kami menyebut anak-anak tersebut adalah anak mahal. Karena harus sangat hati-hati dalam merawatnya. Semoga pandangan kami dalam hal itu adalah salah, jika memang para orang tua mengajimumpungkan kondisi itu untuk mendapat uang.

&&&

Kedua orang tua lamar pun setiap sore rajin mengunjungi buag hatinya. Walau pun, mereka tahu kondisi anaknya bakal cacat seumur hidup, namun mereka memperlakukanya dengan penuh kasih saying. Sebagai wujud perhatiannya mereka pun membelikan mainan layaknya anak normal seusianya. Sekedar boneka penghias ranjang tidur atau pun portable DVD yang diputarkan untuk menemaninya ketika terjaga. Kalau pun ayah atau ibunya tak sempat menengok, Abdurrahman ayah lamar kerap kali menanyakan kondisi anaknya via telephone. Ia menanyakan kondisi anaknya kepada petugas yang sedang dinas disana.

Dibalik keharmonisannya tercium kabar bahwa Abdurrahman dan fatma ibu lamar sedang pisah ranjang. Mereka nyaris bercerai dengan alas an bahwa fatma menolak untuk mempunyai anak lagi. Kia khawatir jika nanti anakny lahir akan menderita penyakit yang sama seperti kakaknya.

Rupanya kekhawatirannya itu berdampak pada keharmonisan rumah tangga mereka. Dahulu mereka tampak bersama bercanda gurau dengan anaknya yang terbaring sakit di ranjang putih itu. Kala itu tidak lagi demikian adanya. Jika Abdurrahman tengah asyik menemani Lamar, lalu sosok fatma muncul. Maka ia pun pergi memberikan kesempatan kepada Fatma agar bisa bercanda gurau menengok putrinya.

Kejadian itu tidak berlangsung lama. Kurang lebih hanya tiga bulan saja. Setelah keduanya menyadari bahwa segala apa yang terjadi adalah kehendakNya. Fatma pun mau membuka hatinya kembali merajut keharmonisan yang pernah pudar.

&&&

Beberapa bulan setelah Ramadan lalu tampak saleh tengah berbincang-bincang dengan Abdurrahman di dekat tempat tidur Lamar. Seperti yang kerap kali ia lakukan dahulu, setelah menjenguk putranya ia pun menjenguk Lamar yang mempunya diagnose yang sama seperti anaknya.

Rehana telah melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Umar. Sengaja namanya disamakan dengan putra pertamanya, sebagai pengganti umar yang telah tiada. Ia juga berharap Umarnya akan setangguh Umar Bin Khotob sahabat Rosul.

Usia Umar saat itu baru empat bulan. Kali itu memang umar sedang dirawat di lantai atas. Ruang anak biasa pada umumnya akibat pneumonia yang dideritanya.

Setelah beberapa minggu Umar dirawat namun tidak menunjukan adanya perbaikan. Pada minggu Umar dipindahkan ke ICU. Dengan nafas yang tersengal-sengal serta keadaan umum yang jelek Umar dilarikan ke ruang ICU pada malam itu. Diantar oleh dr. Mahboob serta perawat jaga dari ruang anak. Rehana pun ikut serta mengantar putranya itu.

Dokter menjelaskan jika diduga anaknya menderita diagnosa yang sama dengan saudaranya yang telah meninggal. Belum lepas dari ingarutan kami akan sosok Umar yang dahulu, kini umar yang baru dating dengan kasus yang sama.

Kali itu kembali aku melihat Rehana sesenggukan. Sedih yang teramat ia rasakan sudah tak tertahan lagi. Ia lebih memilih menjauh karena tidak tega melihat anaknya harus ditangani oleh tenaga medis.
Aduhai rehana, bersabarlah. Hanya satu kata itu yang mampu ku ucap ketika kami selesai membenahi Umar diruang tindakan.

&&&

Saleh dan Rehana sudah pasrah dengan kondisi anak keduanya. Ia sudah menerima jika memang Umarnya kini akan sama seperti Umarnya yang dahulu. Ia bakal menghuni area kronik itu lagi yang hidupnya bergantung kepada mesin-mesin itu.

Berbeda dengan Fatma ibu Lamar yang dulu sempat khawatir jika mempunyai anak lagi akan bernasib sama. Hal itu sempat mengusik keharmonisan rumah tangga mereka. Sebaliknya Rehana dan Saleh semakin romantis saja. Mereka berkeinginan untuk mempunyai momongan lagi. Mereka berharap kelak Allah akan memberikan keturunan untuk mereka dengan sehat jasmani dan rohani.

Untuk itu Rehana benar-benar menjaga kesehatannya. Ia pun rela dan sangat menginginkan jika nanti akan ada lagi janin yang tumbuh di rahimnya. Karena itu ia tak sering tampak mengunjungi Umar di ruang itu. Hanya Saleh dan kerabat lain yang tak jemu menengok Umar.

Suatu ketika aku bertugas di sore hari. Tampak Rehana berada di Area kronik bercanda gurau dengan Umar. Aku menghampirinya. Cipika-cipiki serta salam dan kabar ku tanyakan. Rasanya aku begitu kangen dengan kelembutannya. Ketika usia Umar setahun lebih empat bulan. Rehana menggendong bayi mungil yang diberi nama Jana, tak lain itu adalah adik kandung Umar. Mereka sangat berharap jika Jana akan benar-benar sehat sebagai penerus pasangan itu. Penantian panjang oleh kedua sejoli itu akhirnya terwujud sudah dengan hadirnya Jana si bayi mungil itu.

_________&&&___________

Cibubur, 8 februari 2011. Mencuri hening dalam riuh.

No comments:

Post a Comment