Sunday, March 14, 2010

Balada Anak Singkong

Aku teringat akan pesan emak dulu ketika aku masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah yayasan Al-Islamiyah. Setiap kali aku berangkat sekolah, emak selalu berpesan, “nanti jika kau merasa lapar kencangkan tali sabukmu ya, Nak, emak hanya bisa membekalimu sebotol air putih. Belajar yang rajin ya nak…” “iya, Mak,” jawabku. Kucium tangan beliau lalu aku berpamitan seraya mengucapkan salam untuk berangkat sekolah
Aku keluar dari gubug itu, Gubug mungil terbuat dari bambu di atas tanah petak seluas 10x10 m2, disanalah tempatku tinggal bersama emak. Dengan langkah tegap penuh semangat aku berjalan melewati pesawahan serta ladang-ladang milik para petani. Itulah rutinitasku setiap pagi. Makan sehari sekali pun sudah merupakan nikmat buat kami, hidup ala kadarnya tidak membuatku pesimis atau pun menyesal karena tidak seperti teman-teman yang lain. Emak selalu mengajariku untuk tidak cengeng dalam kondisi apa pun. Banyak orang besar berasal dari lingkungan yang biasa saja. Bahkan rasul penghujung zaman pun kala hidupnya tidak dalam kemewahan.
Celana pendek berwarna hijau dengan baju putih itulah seragamku dulu. Terkadang tampak lusuh, jika ingin membuatnya rapi, kutempelkan baju itu pada sebuah teko/cerek yang terbuat dari alumunium berisikan air panas. Kutempel dan kutempel baju itu hingga lumayan rapi, Aku merasa senang setelahnya karena bajuku tampak sedikit rapi dari sebelumnya. Emak lah yang mengajariku cara seperti itu.
Di kelas itu aku mengenal guru pertamaku, Seorang guru yang mengajarkan kami mengenali aksara, mengejanya satu per satu dalam rangkaian kalimat sederhana. Pak Murtadlo namanya. Walau telah sepuh dengan rambutnya yang telah memutih namun ketelatenan serta kesabaran beliau mengajari kami tak pernah pudar. Dengan semangat beliau mengayuh sepeda ontanya dari kampung sebelah menyusuri jalan-jalan becek yang belum disentuh oleh adonan aspal jika musim penghujan datang.
Beliau pun mengajarkan kepada kami tentang kuasa ilahi melalui syair yang sering kami lantunkan menjelang selesai belajar, dengan kompak dipandu oleh beliau kami melantunkanya:
Man kholaqossama
Kholaqossama Allahul adzim 2x
Sopo sing gawe langit, gusti Allah sing gawe langit
Man kholaqol ardlo
Kholaqol ardlo Allahul adzim 2x
Sopo sing gawe bumi, gusti Allah sing gawe bumi.

Selesai melantunkan syair itu sang ketua memberi komando agar kami berdiri lalu mengucapkan salam, kemudian duduk kembali dengan melafalkan surat Al-ashr. Selesai melafalkan surat itu pak guru mempersilakan kami untuk pulang. Cihuy…senang rasa hati jika mendengar kata pulang, apa lagi jika hari kamis, karena hari itu adalah week end bagi kami.
&&&&&
Siang itu terik mentari lumayan membuat kelopak mataku berkerut. Kupilih jalan-jalan teduh dibawah naungan pepohonan yang berjejer sepanjang jalan itu. Perjalanan pulang usai belajar selama setengah hari tak membuatku lelah dibarengi dengan canda gurau bersama teman-teman sebayaku. Terkadang aksi jail pun muncul, aksi saling dorong dan berkejaran antara kami membuat perjalanan kami semakin asyik. Aku, Amin dan subhan masing-masing mulai berpisah dari jalan pesawahan itu.
Aku berbelok arah melewati area ladang milik ustadz Hasan. Diantara kami bertiga rumah aku lah yang paling jauh. Tampak ustadz Hasan tengah sibuk berkecimpung di ladangnya. Tanaman singkong yang hanya menunggu beberapa bulan setelah ditanam, kini tengah dipanennya.
Aku terus saja berjalan, tiba-tiba suara seseorang mengagetkanku, “Pul…”, aku pun menoleh, ternyata ustadz Hasan lah yang memanggilku. Aku pun menghampirinya.
“ya ustadz.”
“Ini kau bawa pulang,” ucap ustadz Hasan sambil menyodorkan kantong kresek berisikan singkong hasil panennya itu.
“terima kasih ustadz”
“ya sama-sama”
“ustadz, Ipul pingin nanam singkong juga seperti ustadz, gimana caranya?
“Gampang saja, tinggal kau potong-potong saja itu batangnya, lalu disimpan di tempat lembab hingga tumbuh tunasnya, lalu kau tancapkanlah batang yang telah bertunas itu di tanah, tinggal tunggu saja hingga siap di panen.”
“kalau begitu ipul mau mencoba ustadz.”
“Kau ambillah itu beberapa batangnya sana, lakukan seperti apa yang saya jelaskan tadi.”
Diambilah tiga batang singkong oleh ustadz Hasan, lalu diberikannya kepada ipul.
“Makasih banyak ustadz”
“ya…jangan lupa kau harus rajin menyiraminya”

Ustadz Hasan adalah guru ngajiku di Mushola Nurul Huda, setiap habis maghrib aku belajar ngaji bersama teman-teman disana.
&&&
Kupotong potong batang singkong itu menjadi satu ikatan, kudapatkan 15 potongan kecil-kecil sepanjang lebih-kurang 30 cm. Ku letakkan seikat potongan kayu itu dekat sumur di belakang rumah agar aku lebih dekat menyiraminya setiap pagi dan sore. Sesuai dengan pesan ustadz Hasan, aku harus rajin menyiraminya.
Setiap pagi dan sore aku mengamati potongan-potongan kayu itu sambil menyiraminya.
“Bismillahirrohmanirrohiim, pyuuuurrrrr, tunas, cepatlah kau tumbuh” gumamku dalam hati sambil mengguyurkan air pada seikat benih singkong itu.
Rupanya emak mengamati tingkahku sejak aku menemukan teman baruku seikat potongan-potongan kayu itu. Emak pun menanyakan kepadaku kenapa aku begitu asyik dengan benih singkong itu. Aku pun menceritakan pertemuanku dengan ustadz Hasan usai pulang sekolah kemarin.
“Nanti jika akar singkongnya sudah bisa diambil, emak bisa bikin aneka makanan darinya, kali aja kan bisa dijual, biar ipul yang keliling kampung menjualnya”
“Saiful, saiful, cerdas kali kau nak,”
“siapa dulu…ipuuul”
Teman baruku seikat benih singkong selalu ku tengok setiap pagi dan sore tiba. Namanya anak-anak, aku dibuatnya asik dengan penemuan baruku. Aku ingin membuktikan apa yang Ustadz Hasan tuturkan kepadaku tentang kayu-yang yang dapat menghasilkan sumber karbohidrat itu.
&&&
Seperti biasa setiap tahun diadakan acara pekan olah raga dan seni (PORSENI). Setiap sekolah mengirimkan wakilnya untuk setiap cabang Porseni itu. Biasanya siswa-siswi kelas lima dan kelas enam yang disibukkan dengan kegiatan itu.
Ketika itu aku masih duduk dibangku kelas empat. Aku ditunjuk oleh pak Faizin selaku pembimbing dalam bidang tilawatil Qur’an untuk ikut latihan bersama beberapa kandidat yang semuanya adalah kelas enam. Pak Faizin juga lah yang menjadi wali kelasku di kelas empat.

Hari jum’at adalah ajang berkumpulnya umat muslim di masjid-masjid dimana mereka tinggal. Usai sholat jum’at di masjid Baiturrahim siang itu aku bersama Subhan masih duduk di teras masjid itu.
“Saifullah”, terdengar suara pak Faizin memanggilku. Pak Faizin dengan sajadah dipundaknya mendekatiku, “nanti setelah ashar kerumah bapak ya, belajar qiro”.
Beliau yang jebolan pondok pesantren As-Shidiq Narukan Rembang itu memiliki suara merdu dan bacaan Qur’an yang fasih, aku pun mengaguminya. Terkadang sekedar intermezzo di kelas beliau ajarkan kami lantunan ayat Al-Qur’an dengan qiro’atussab’ah.
Sore itu aku dibonceng oleh subhan dengan sepedanya menuju rumah pak Faizin. Sengaja aku mengajak Subhan untuk menemaniku ke rumah Pak guru yang kira-kira berjarak satu kilo meter dari rumahku. Sesampainya di rumah pak guru, kupikir ada anak-anak lain yang akan belajar bersamaku, ternyata hanya aku seorang. Beruntung Subhan mau ku ajak, setidaknya ada teman dalam perjalananku untuk bergantian dalam menggayuh sepeda miliknya.
Dengan telaten beliau mengajariku, Ayat-demi ayat diulang-ulang agar aku benar-benar fasih melafalkan makhroj demi makhroj dan lantunannya tidak melenceng dari tajwidnya. Rupanya akulah yang dijadikan kandidat wakil dari sekolahku untuk acara Porseni itu. Usai latihan itu baru pak guru memberitahuku. Sejak hari itu setiap sehabis ashar aku ke rumah pak guru untuk latihan seminggu menjelang Musabaqoh Tilawatil Qur’an.
&&&
Subuh itu emak membangunkanku, Mengajakku berjamaah di mushola A-Musthofa dekat rumah kami. Usai sholat subuh aku tak sempat menengok tanaman singkongku, Karena usai sekolah kemarin pak Faizin berpesan jika pagi-pagi aku harus ke rumahnya. Aku dan pak guru akan pergi ke kota untuk mengikuti acara MTQ itu. Tampak emak mempersiapkan sarapan, beliau menemaniku menikmati sarapan pagi.
“Jangan lupa berdo’a, semoga tidak grogi saat tampil nanti”
“InsyaAllah mak”.

Aku telah siap dengan celana pendek berwarna hijau dan baju putih dengan peci. Aku langsung meluncur ke rumah pak guru di temani oleh Subhan. Sarung batik pemberian pakdhe hadiah sunatan itu kulipat dan kusimpan di tasku. Usai mengantarkanku Subhan pun pulang karena ia harus mengikuti pelajaran di sekolah seperti biasa.
&&&
Tampak para peserta telah siap disana. Kebanyakan pesrta mengenakan kemeja lengan panjang dan celana panjang Hanya aku sendiri yang mengenakan seragam hijau putih dan bersarung batik layaknya pengntin sunat. Amboi…aku tak tahu jika ternyata tidak harus berseragam sekolah, untungnya bawa sarung jadi kakiku yang tak mulus karena bekas koreng-koreng itu tertutupi. Walau tampak lucu dari penampilan peserta lain. “Ah cuek saja lah,” pikirku dalam hati, niatku hanya ikut meramaikan acara saja.
Undian pemilihan ayat yang akan ditampilkan pun dilakukan, aku kebagian surat Al-Anfal. Pada beberapa sisa waktu yang ada pak guru mengajariku melantunkan surat itu.
Saatnya seluruh peserta berkumpul dan menunggu giliran panggilan untuk tampil.
“Ananda Saifullah dari Madrasah ibtidaiyah Islamiyah” deg, jantungku berdegup, sedikit grogi. Spontan pak guru bertepuk tangan mensuportku, kulihat tak ada penonton lain yang bertepuk tangan kecuali beliau seorang.
“Bismillah, semoga lancar” dalam hati aku berdo’a.
Aku telah berada di panggung itu, sebelum lampu hijau menyala tanda aba-aba untuk mulai, aku dan pak guru saling bertatap, beliau lemparkan senyum kepadaku tanda support supaya aku tidak begitu grogi.
Lampu hijau pun menyala, kulantunkan surat al-anfal ayat satu sampai dengan tiga. Dengan hati-hati dan penuh konsentrasi aku melantunkanya sesuai yang diajarkan oleh pak guru kepadaku. Setiap peserta diberi waktu 15 menit untuk menampilkannya. Lampu merah pun menyala sebagai aba-aba untuk kusudahi tampilanku. Shadaqallahuladziim, Alhamdulillah aku merasa lega, pak guru pun kembali bertepuk tangan atas tampilanku itu.

Detik-detik menunggu pengumuman pemenang pun tiba. Saatnya dewan juri mengumumkan nama-nama pemenang dalam lomba itu untuk maju kedepan. Juara ketiga di raih oleh SD daerah kota kabupaten, Aku lupa siapa nama pesertanya. Juara ketiga diraih oleh SD daerah kecamatan kami, Umar namanya, karena ketika itu aku sempat duduk bareng disampingnya sebelum lomba dimulai.
Kembali pengumuman dari dewan juri.
“Juara pertama diraih oleh nomor undian 17 dari Madrasah Ibtida’iyah Islamiyah...” Aku menengok tanda pengenalku yang menempel di saku sebelah kiri bajuku. Ku lihat nomor peserta 17 tak lain adalah aku. Aku saling beradu pandang dengan Pak Guru yang duduk disampingku. Mendadak jantungku berdebar kencang. Aku sempat tak percaya jika sang juara dalam lomba itu adalah aku. Pak guru pun menyungging senyum penuh ceria sembari bertepuk tangan lalu menyuruhku untuk maju kedepan menerima penghargaan itu. Aku pun naik ke atas panggung dengan penampilan unikku, bersarung diantara mereka yang tampak ramping dan rapi.
Sebagai dokumentasi, panitia mengambil gambar seluruh peserta. Yups, tepatnya foto-foto. Yang berhasil menyabet juara berpose di depan lengkap dengan piala di tangan masing-masing. Alhasil aku yang bak pengantin sunat itu berpose di tengah sebagai pusat perhatian audiens.
&&&
Sore itu selapas lomba Qiroatil Qur’an pak guru mengantarku hingga ke rumah. Tampak emak sedang asyik menata kayu-kayu bakar di halaman rumah. Aku menyalami emak lalu ku cium tangan beliau. Pak guru melempar senyum kepada kami sebelum beliau menggayuh sepeda meninggalkan kami.
Aku tak bisa mengumpat rasa suka cita ini.
“Gimana, Pul, lombanya?”
“Alhamdulillah lancar, Mak.”
“Lancar gimana?”
“Ipul dapat juara satu, Mak.” Jawabku sembari menyodorkan amplop hadiah lomba berisikan uang tunai Rp 25000. Emak turut gembira seraya menciumi aku yang tengah sibuk melepaskan baju seragam sekolah yang kukenakan.
Kembali aku menengok benih-benih singkong yang telah bertunas itu. Pasalnya pagi tadi tidak sempat ku longok dikarenakan tugas yang ku emban mewakili sekolahku. Tampaknya benih-benih itu sudah siap tanam. Tidak menunggu lama untuk menunggu tunas-tunas itu tumbuh. Kira-kira seminggu saja asalkan rajin menyiraminya.
&&&
Lima bulan sudah aku bergelut dengan tanaman singkong di pekarangan rumah. Dalam kurun waktu itu, tidak hanya menanti buahnya saja, namun pucuk daun mudanya pun bisa digunakan sebagai lalapan yang konon mengandung zat besi. Tiba saatnya umbi akar itu siap dipanen. Satu demi satu ku dongkrak akar-akar yang telah membesar itu. Alhamduliullah setelah penantian yang cukup panjang itu akhirnya aku dapat mrnuai hasilnya.
Emak yang cukup kreatif membuat aneka makanan darinya. Salah satunya dibuat seperti mata sapi. Singkong diparut halus, diberi sedikit pewarna menggunakan daun katu biar tampak hijau warnanya. Sebagian yang lain diberi pewarna merah dari pucuk daun jati. Kedua adonan yang telah diwarnai itu dipadukan sehingga tampak menarik. Buah pisang diletakkan ditengahnya dalam balutan daun pisang. Setelah dikukus hingga masak, jadilah kue itu seperti mata sapi setelah dipotong-potong.
Sebagian yang lain dari singkong itu dicampurkan dengan ragi. Lalu didiamkan selama kurang lebih tiga hari untuk menunggu proses fermentasi. Maka jadi lah tape singkong atau biasa disebut peiyem.
Tak lupa ku sisihkan kue dari umbi akar itu kepada ustadz Hasan yang telah membekaliku bakal karbohidrat itu. Aku mencoba keliling kampung untuk menawarkan kue bikinan emak, barangkali saja ada yang berminat membelinya.
Seperti sebelumnya aku pun memilih beberapa batang pohon singkong untuk dijadikan benih. Ku tanam lalu ku tanam sehingga tidak habis begitu saja.

&&&