Monday, December 19, 2011

MALAIKAT KECIL BABA





Pagi itu ku lihat baba telah siap dengan pakaian gerilyanya. Baba tampak fresh lengkap dengan senapan yang dikalungkannya. Aku melihanya lekat-lekat. Aku tersenyum melihat baba. Baba memang tergabung dalam angkatan bersenjata sebagai pembela alAqsho. Aku bangga mempunyai baba seorang pemberani. Tak gentar dengan serangan yahudi yang lengkap dengan persenjataan mereka.
Aku yang baru berusia 6 tahun kerap kali diajari bagaimana cara memegang senapan. Jiwa pemberani telah ditanamkan kepadaku sejak dini. Aku pun banyak belajar dari baba tentang itu.

“Misy’al, kau harus jadi muslim sejati, Nak...dimana jika kau tinggal dalam suatu wilayah, lalu wilayahmu sedang dalam bahaya, kau jangan lari tuk menghindarinya. Jangan jadi pengecut!” Tegas baba.

“ Kau harus bertekad kuat membela negerimu. Apa lagi musuh yang menyerang kita adalah tentara kafir. Jangan takut dan jangan takut! Allah bersama kita.” Lanjutnya lagi.
Aku menyimpan kalimat-kalimat baba dalam memoriku.

Terlihat mama membawakan hidangan secangkir teh susu dengan sepotong roti serta biji-biji zaitun dalam wadah kecil untuk sarapa baba. Aku dan mama menyaksikan baba menikmati hidangan itu. Sseperti itulah kebiasaan mama jika baba harus berangkat pagi-pagi. Aku, mama dan adikku akan menyantap srapan agak siangan.

Usai sarapan, baba berpamitan. “Jaga Fatiya adikmu, jangan jauh-jauh dari mama. Jangan lupa kau bantu-bantu mama.” Ujar baba kepadaku. Aku pun mengangguk, Lalu ku cium tangan beliau sebelum beliau berangkat. Tak ketinggalan baba pun berpamitan kepada mama, dikecupnya kening mama. “Robbana ma’ak ”, ucap mama mendo’akan baba.

Baba pun melangkah keluar dengan langkah gagahnya penuh keberanian. Usai melepas keberangkatan baba ba’da subuh itu, kami pun kembali melanjutkan aktifitas seperti biasa. Aku membantu mama membersihkan rumah. Rumah kami sederhana saja. Hanya ada satu kamar lalu dapur bersamaan dengan kamar mandi dan satu lagi ruang serba guna, serba guna untuk ruang keluarga ataupun untuk makan bersama. Di ruang itu pula terdapat dipan kecil ukuran 1x2 meter untuk tempat tidurku.
Aku membangunkan adik perempuanku yang masih terlelap lalu membantunya membersihkan badan. Fatiya tidak sempat melihat baba berangkat karena tadi ia masih terlelap.

&&&

Hari semakin siang. Mata hari pun semakin naik mamancarkan sinarnya menghangatkan tubuh setiap penduduk bumi. Aku sama sekali tak melihat wajah mama cemas atau pun takut dalam kondisi itu. Kulihat wajahnya tenang, tampak bibirnya tak lepas menyebut asmaNya. Hanya do’a yang bisa kami panjatkan untuk baba yang tengah berjuang, semoga selalu dalam lindunganNya.

“Jangan takut mati karena perang.” Itulah kalimat yang selalu mama tanamkan. Mati bisa terjadi kapan saja jika Allah berkehendak. Bahkan sedang tidur terlelap pun jika Allah berkehendak maka ia tak akan bangun untuk selamanya.

“Perjuangan baba adalah jihad, Nak. Jihad fi sabilillah insyaAllah. Kalau pun baba meningggal insyaAllah syahid.”
“mama sudah siap seandainya baba tidak pulang untuk selamanya?”
Dijawabnya pertanyaanku dengan senyum mengembang.
“Cepat atau lambat kita pun akan kembali kepadaNya.” Ucap mama menimpali pertanyaanku.

&&&

BBUUMMM.....BUUMMMM...BUUMMM....

Terdengar suara ledakan bom di luar sana. Kulihat suasana luar, asap tebal mengalun. Percikan-percikan debunya pun sampai ke sekitar tempat tinggal kami.

BUMMMM.... Lagi-lagi suara itu terdengar. Seakan sudah tak asing lagi bagi kami bunyi-bunyian semacam itu. Ingin Rasanya aku ikut berada di medan itu. Bukanya takut namun semangatku kian berkobar ingin ikut membasmi pasukan kafir tak berperasaan itu. Yahudi memang keji dan patut dimusuhi. Namun aku ingat pesanan baba agar aku tak jauh-jauh dari mama. Kelak jika usiaku remaja, aku pun akan meminta izin kepada baba dan mama agar aku diperbolehkan berjuang bersama bala tentara Allah.

Hari pun semakin gelap. Aku, mama dan fatiya berkumpul di ruang serba guna. Tepatnya kami duduk bertiga pada dipan tempat tidurku. Baba belum juga pulang. Ingin ku bertanya kepada mama tentang keberadaan baba namun ku urungkan. Aku sudah tahu jawaban apa yang akan mama lontarkan. Kulihat adik kecilku yang berbeda usia setahun dariku telah terlelap di pangkuan mama.

“Allah...lindungilah baba jika memang baba masih berada di dunia ini. Jika memang baba telah berada di kehidupan selanjutnya, berilah tempat yang mulia baginya, ya Robb.” Hanya itu do’a yang bisa kupanjatkan dalam suasana menegangkan seperti sekarang ini.

Hingga Fajr tiba, sosok baba belum juga hadir di rumah kami. Usai sholat Fajr kupanjatkan do’a untuk baba. Kuihat mama masih asyik dalam sujud panjangnya memohon kepada Dzat yang maha satu sambil berurai air mata. Ya, aku memang mengamati mama pada sujud terakhirnya sebelum salam. Kenapa lama sekali mama sujud, batinku.

Kali itu Fatiya ikut bangun bersama kami pada waktu fajr. Aku dan mama memulai hari dengan tilawatil Qur’an seusai sholat. Fatiya hanya duduk diam mendengarka bacaan Qur,an kami. Hari itu adalah hari Jum’at, hari liburku dari belajar di madrasah.
Kulihat adikku tampak cantik hari itu. Tampak lebih cerah dari biasanya. Rambut pirang dengan kulit putih, serta bibir merahnya mengembangkan senyum kepadaku.

“Akhuya , Fatiya belum lihat baba sejak kemarin...”

Aku terdiam mendengar kalimat yang dilontarkan oleh adik mungilku. Adikku terus saja menebar senyum termanisnya kepadaku dan mama. Kutinggalkan Fatiya di ruangan itu. Aku menghampiri mama yang tengah menyiapkan sarapan di dapur. Pagi itu kira-kira sekitar pukul 08.00, suasanya begitu cerah. Walau dalam hati kami harap-harap cemas menanti kahadiran baba.

“Babaaaaa....................................................................................”

Terdengar suara Fatiya memanggil baba. Aku dan mama segera berlarian menuju pintu depan ingin menyambut kehadiran baba setelah harap-harap cemas sejak kemarin pagi. Namun kulihat Fatiya tidak langsung menubruk baba. Ia berlari lalu membelakangi baba.
Tiba-tiba,

DORRR....DORRR.....DORRR

Tubuh mungil Fatiya berlumuran darah diberondong peluru. Rupanya Fatiya melihat ada seseorang mengintai baba siap dengan senjatanya.
“Fatiyaaaa…..” Aku, mama dan baba berteriak histeris.
Kami terperanjat melihat peristiwa yang tak terbayangkan itu. Kulihat tentara yahudi segera lari meninggalkan area setelah memuntahkan peluru dari senapannya pada tubuh mungil adikku. Ingin rasanya ku kejar, namun mendadak langkah kakiku berat karena diliputi rasa iba yang sangat terhadap derita sikecil Fatiya.

Seketika itu dibopongnya tubuh mungil Fatiya yang berlumuruan darah oleh baba. Fatiya adik mungilku yang cantik adalah malaikat kecil kami untuk baba. Selamat jalan, Sayang. Engkau telah dijemput olehNya, berjejer bersama bala tenteraNya yang Syahid.

&&&


# Elwasha Taif, 23 Rajab 1431 H (5 Juli 2010)
Pagi yang cerah, dalam libur mengorek inspirasi yang terkubur. Bersama a song for palestin “We Will not Go Down”


*Catatan kaki
Robbana ma’ak : Tuhan kita bersamamu
Dipan : Tempat tidur yang terbuat dari kayu
Fajr : Subuh
Akhuya : Kakak laki-laki

No comments:

Post a Comment